Skripsi - KEPEMIMPINAN KRISTEN (Suatu Tafsir Sosial Terhadap 1 Timotius 3 :1-7 Dan Implikasinya)

KEPEMIMPINAN KRISTEN
(Suatu Tafsir Sosial Terhadap 1 Timotius 3 :1-7 Dan Implikasinya)


S K R I P S I

Oleh :
RICHI STEVANLY HURSEPUNY
152 704 009








JURUSAN TEOLOGI
SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN PROTESTAN NEGERI
AMBON
November 2012





















KEPEMIMPINAN KRISTEN
Suatu Tafsir Sosial Terhadap 1 Timotius 3 :1-7 Dan Implikasinya




S  K  R  I  P  S  I
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana S.Th  Pada Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Ambon
Jurusan Teologi



Oleh :
RICHI STEVANLY HURSEPUNY
152 704 009



JURUSAN TEOLOGI
SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN PROTESTAN NEGERI
AMBON
November 2012



PERNYATAAN ORISINALITAS


Skripsi ini adalah benar hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan jujur dan benar. Jika di kemudian hari saya tebukti menyimpang dari pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Ambon,   November 2012
Yang Membuat pernyataan,




Richi S. Hursepuny
NIM. 152 704 009









LEMBARAN PERSETUJUAN


Skripsi oleh NAMA : Richi Stevanly Hursepuny NIM : 152 704 009  Judul Skripsi : KEPEMIMPINAN KRISTEN (Suatu Tafsir Sosial Terhadap 1 Timotius 3 :1-7) dan Implikasinya.
Telah memenuhi syarat dan disetujui untuk diuji dalam ujian Skripsi.

            Ambon,  November 2012
Pembimbing I    Pembimbing II



Dr. A. Ch. Kakiay, M.Si
                     NIP. 197308082000032002   


S. B. Warella, S.Ag, M.Pd.K
             NIP. 197101242007012010

Mengetahui,
KETUA JURUSAN



H. A. Wenno, S.Pd, M.Th
     NIP. 194906231981032001






LEMBAR  PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh
Nama    :    Richi Stevanly Hursepuny
NIM    :    152 704 009
Jurusan    :    Teologi
Judul Proposal    :    Kepemimpinan Kristen (Suatu Tafsir Sosial Terhadap 1 Timotius 3 :1-7) Dan Implikasinya.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi pada Jurusan Teologi, Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Ambon.
DEWAN PENGUJI
Ketua    :    Dr. A. Ch. Kakiay, M.Si        ( …………….. )
Anggota    :    S. B. Warella, M.Pd.K        ( …………….. )
Anggota    :    Dr. A. Siahaya, M.Th        ( …………….. )
Anggota    :    S. E. M. Sahureka, M.Si        ( …………….. )
Anggota    :    A. A. Sapulette, M.Si        ( …………….. )
Disahkan Oleh :

Ketua Jurusan    Pembantu ketua I



H. A. Wenno, S.Pd, M.Th
NIP. 194906231981032001   


J. Taihuttu, S.Sos, M.Si
NIP. 196210011982031001


Mengetahui,
Ketua STAKPN Ambon
Dr. A. Ch. Kakiay, M.Si
NIP. 197308082000032002





M o t t o :


“ Melainkan Yang Terbesar Di Antara Kamu Hendaklah Menjadi Sebagai Yang Paling Muda Dan Pemimpin Sebagai Pelayan “

(Lukas 22 : 26b)










LEMBAR PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur dan bangga skripsi ini kupersembahkan kepada
 orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku.
Keluargaku tercinta :

 Pitus, Yei, kaka Ita bersama suami kaka Bas, Tuni bersama Bu Enol, Panick, tante Anty, dan special kaka Epat_Puny juga Jors.


Almamater Tercinta,
STAKPN Ambon

Dan

Jurusan Teologi




KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa dalam Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini berjudul Kepemimpinan Kristen (Suatu Tafsir Sosial Terhadap 1 Timotius 3 :1-7) Dan Implikasinya, ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperloleh gelar Sarjana Teologi (S.Th) pada Jurusan Teologi STAKPN Ambon.
Penulis dengan kesadaran yang sungguh mengakui bahwa dalam penyelesaian Skripsi ini banyak pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1.    Tuhan Yesus Kristus, sobat yang setia, sumber hikmat dan kepintaran, Bapa yang selalu menjaga dan menyertai, memberkati, membimbing dan memimpin penulis dalam menjalani hari-hari yang dilalui dalam studi sampai pada penyelesaian  skripsi ini. Dangke banya voor Tete Manis . . .
2.    Dr. A. Ch. Kakiay, M.Si, selaku Ketua STAKPN Ambon dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan  Skripsi ini.
3.    H. A. Wenno, S.Pd, M.Th, selaku Ketua Jurusan Teologi STAKPN Ambon dan S. B. Warella, S.Ag, M.Pd.K, selaku Sekretaris Jurusan Teologi sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang dengan penuh kasih sayang telah banyak memberikan motivasi, nasehat dan pengajaran sehingga dalam menjalani proses pergumulan panjang selama berada di bangku kuliah, penulis dapat melalui semua tantangan.
4.    Civitas Akademika STAKPN Ambon pada umumnya dan seluruh Dosen Jurusan Teologi secara Khusus yang telah menjadi sumber inspirasi bagi penulis selama proses belajar di lembaga STAKPN Ambon. 
5.    Teman-teman seperjuangan dari Jurusan Teologi angkatan 2007 yang saya kasihi dan saya cintai : Stevie, Jenny, Allin, Cika, Ampi, Agus, yang telah membantu penulis dalam pikiran maupun motivasi teman-teman selama ini.
6.    Keluarga Tentua; Ibu Evi, Jhovi, Shena, Nona, ade Wanda, Willi, Nando, Teguh, Mey, Ara. Dan Khusus buat seorang yang sangat penulis sayangi dan cintai Mama Anty Sayang Love You Darling Muach_Muach, terima kasih atas dukungan dan cinta kasih yang diberikan kepada penulis.
7.    Mama Alce Sapulette, M.Si selaku mama tutor terima kasih atas dukungan doa dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis selama ini.
8.    Semua pihak, sahabat, teman serta keluarga yang belum sempat penulis sebutkan, penulis mengucapkan terima kasih telah membantu penulis dalam perjuangan studi di STAKPN Ambon. Terima kasih untuk segalanya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dan yang bersifat membangun demi kesempatannya. Semoga Skripsi ini bisa membawa manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Ambon,    November 2012
               Penulis
ABSTRAK

Nama     : Richi S. Hursepuny. NIM : 152 704 009
Judul Skripsi    :    Kepemimpinan Kristen (Suatu Tafsir Sosial Terhadap 1 Timotius 3:1-7) Dan Implikasinya.
Pembimbing I     : Dr. A. Ch. Kakiay, M.Si
Pembimbing II     : S. B Warella, S.Ag, M.Pd.K
Tebal Skripsi    :  94 lembar.

    Konteks sosial alamat Surat 1 Timotius memberikan gambaran bahwa adanya kebutuhan akan pemimpin Kristen yang dapat diteladani. Dalam hal itu maka dibutuhkan Penilik/Penatua. Penilik Jemaat ialah pemimpin dalam jemaat yang bertanggung jawab dalam hal penggembalaan umat, selain itu ia juga bertugas sebagai pengawas dalam umat persekutuan/ibadah umat. Searah dengan itu ia melaksanakan fungsi kepemimpinan dan dalam hubungan dengan konteks teks maka kepemimpinan yang diterapkan adalah kepemimpinan Kristen.                Penilik Jemaat dalam perkembangan organisasi gereja ketika penerapan tugas diparalelkan dengan sebutan penatua. Istilah ini disejajarkan maknanya dengan jabatan Penatua yang memiliki gambaran tugas dan tanggung jawab yang serupa. Baik Penilik maupun Penatua dalam Jemaat mengimplementasikan kepemimpinan Kristen yang sarat dengan nilai etis dan moral yang telah diteladankan oleh Yesus Kristus.
Realitas yang mengemuka bahwa  terdapat pergeseran pemaknaan paradigma jabatan Penilik/Penatua, artinya bahwa jabatan Penilik/Penatua dalam penerapan kepemimpinan Kristen tidak maksimal menerapkan nilai-nilai kepemimpinan Kristen.
    Kepemimpinan yang efektif dalam organisasi gereja dengan kata lain kepemimpinan Kristen merupakan hal yang sangat diharapkan saat ini, karena tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin dalam gereja  sudah mulai mengalami distorsi makna. Seseorang yang nantinya memegang jabatan sebagai pemimpin dalam suatu jemaat Kristen menjadi hal utama yang akan menentukan jalannya suatu proses kepemimpinan adalah pembatinan nilai-nilai keteladanan yang telah dipolakan Yesus Kristus.
Oleh karena itu syarat-syarat mutlak yang telah diatur dalam Alkitab yang menunjuk pada aturan dalam pengangkatan jabatan pemimpin jemaat (Penilik/Penatua) ini selayaknya dipahami secara benar dan mendapat perhatian serius sehingga dapat diaplikasikan dalam proses itu.
Kata Kunci     : Penilik Jemaat.
Daftar pustaka     : Tahun 1957-2011.

DAFTAR  ISI

HALAMAN SAMPUL    …………………………………………………...    i
LEMBAR LOGO    ………………………………………………………...    ii
HALAMAN JUDUL    ……………………………………………………...    iii
HALAMAN PERYATAAN ORISINALITAS    …………………………    iv
LEMBARAN PERSETUJUAN     …………………………………………    v
LEMBARAN PENGESAHAN    …………………………………………...    vi
HALAMAN MOTTO    …………………………………………………….    vii
HALAMAN PERSEMBAHAN    …………………………………………    viii
KATA PENGANTAR    …………………………………………………….     ix
ABSTRAK    ………………………………………………………………...    x
DAFTAR ISI    ……………………………………………………………..    xi
BAB I   : PENDAHULUAN    …………………………………………….    1
I.1. Latar Belakang Masalah    …………………………………….    1
I.2. Rumusan Masalah    …………………………………………..    9
I.3. Tujuan Kajian    ……………………………………………...    10
I.4. Kegunaan Kajian    …………………………………………..    10
a.    Kegunaan Teoritis    ……………………………………...    10
b.    Kegunaan Praktis    ……………………………………...    10
I.5. Definisi Istilah    ……………………………………………...    11
I.6. Kajian Pustaka    ……………………………………………...    12
I.6.1.  Teori Pemimpin    ……………………………………    12
I.6.2. Syarat-syarat memilih calon pemimpin    ……………..    14
I.6.3. Teori Kepemimpinan    ………………………………..    17
I.6.4. Teori Kepemimpinan Otokrasi    ………………………    18
I.6.5. Teori Kepemimpinan Teokrasi    ………………………    20
I.6.6.  Kepemimpinan Kristen    ………………………………    21
I.7. Metodologi    …………………………………………............    22
Tafsir Sosial    …………………………………………….....    22
I.8.  Sistematika Penulisan    ……………………………………...    31
BAB II     : KONTEKS SOSIAL SURAT 1 TIMOTIUS    ………………    32
BAB III   : TAFSIRAN 1 TIMOTIUS 3 : 1 - 7    …………………………    44
III.1. Teks Asli 1 Timotius 3 : 1 – 7    …………………………….    44
III.2. Terjemahan Teks 1 Timotius 3 : 1 – 7    …………………...    45
III.3. Tafsir Sosial Terhadap  1 Timotius 3 : 1 – 7    …………….    47
BAB IV   : IMPLIKASI    …………………………………………………    70
BAB V     : PENUTUP    …………………………………………………..    76
V.1. Kesimpulan
V.2. Saran     ……………………………………………….
……………………………………………….    76
78
DAFTAR PUSTAKA    …………………………………………………….    79


BAB I
PENDAHULUAN

I.1    Latar Belakang
    Pemimpin yang dapat membawa suatu kelompok atau komunitas tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan adalah pemimpin yang cakap. Pemimpin yang cakap sangat menentukan arah dan tujuan dari kelompok atau komunitas yang dipimpinnya. Pemimpin yang cakap yang dimaksudkan di sini adalah cakap intelektual dan cakap emosional. Kecakapan intelektual dan kecakapan emosional berhubungan satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi. Jika keduanya seimbang maka, jalannya proses kepemimpinan akan baik dan mencapai hasil yang diinginkan.  Kepemimpinan yang baik menjadi harapan suatu kelompok atau komunitas tetapi yang demikian tidak mudah dicapai.
    Persoalan mengenai pemimpin dan kepemimpinan menjadi sesuatu yang sulit dipecahkan dari dulu sampai dengan saat ini. Tak terkecuali pada masa pemerintahan kerajaan Romawi pada umumnya dan jemaat di Efesus pada khususnya masa Kerajaan Romawi.
    Dalam hubungan dengan pemimpin dan kepemimpinan maka sebagai pemimpin misalnya dalam lokus kumpulan masyarakat yang berkepercayaan kristen maka pengimplementasian tugas dan fungsi dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini dinampakan dalam hidup dan karya Paulus serta Timotius.
    Searah dengan itu maka penulis mengulas tentang hidup dan karya Paulus yang mengedepankan kepemimpinan disertai tugas dan fungsi yang mengarah pada kepemimpinan yang berubah.
    Perpindahan ke dalam agama Kristen memberikan dampak yang menentukan baik dalam arti persepsi diri individu maupun dalam konteks sosial suatu persekutuan yang baru. Kisah Para Rasul menggambarkan pertentangan antara orang-orang Yahudi yang Helenis dengan yang lebih tradisional. Pada akhirnya sebuah konferensi pemimpin Kristen di Yerusalem menghasilkan sebuah kompromi antara pihak Yudais dan Helenis (Kis 15:1-29; 21:25). Namun banyak orang Yahudi yang masih menolak untuk menerima Injil. Para pengkhotbah ditolak oleh khalayak Yahudi di Bait Allah dan di sinagoge, yang menyebabkan Paulus memutuskan akhirnya untuk pergi memberitakan Injil hanya kepada orang-orang bukan-Yahudi (Kis 13; 18;28).
    Paulus dalam perjalanan pelayanan yang kedua untuk memberitakan injil ke daerah Asia, ia mampir di kota Efesus yang merupakan salah satu daerah pemukiman yang tertua di pantai sebelah barat Asia Kecil dan kota yang paling menonjol di Propinsi Romawi di Asia saat itu. Tempat yang terkenal di Efesus adalah Kuil Dewi Artemis yang Mahabesar. Dewi Artemis adalah dewi orang-orang Efesus yang kemudian disamakan dengan Dewi Artemis orang Yunani dan Diana dari Romawi. Kuil ini bukan hanya merupakan pusat pemujaan saja, tetapi dianggap suci dan juga merupakan tempat perlindungan bagi kaum yang tertindas dan tempat penyimpanan harta bahkan praktek penyembahan terhadap Dewi Artemis sering dilakukan dalam bentuk perzinahan.
    Paulus yang tidak setuju dengan praktek-praktek penyembahan dan kebiasaan dari orang-orang di Efesus mengecam perilaku mereka. Paulus mengajarkan mereka agar berhenti membuat cinderamata Dewi Artemis karena bagi Paulus hal itu adalah perbuatan menyimpang.
    Efesus tergolong sebagai kota yang bebas dan menjalankan pemerintahannya sendiri. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh sidang rakyat yang diselenggarakan secara resmi, sedang para pemimpin atau senat kota itu berfungsi sebagai badan pembuat undang-undang.
    Di samping persoalan di atas, Paulus mendapat beberapa persoalan lain yaitu  pertanyaan mengenai kelangsungan ajaran Yohanes Pembaptis. Terhadap hal ini Paulus banyak memberi pencerahan kepada orang-orang di Efesus. sehingga ada pencerahan, mereka menjadi orang-orang yang percaya namun belum matang.
    Mereka seringkali mendapat desakan-desakan dari orang-orang yang setia dengan penyembahannya kepada berhala-berhala sehingga membuat keyakinan dan kesetiaan mereka pada ajaran yang diberitakan oleh Yohanes menjadi goyah. Mereka menjadi bimbang dengan keadaan mereka yang tidak lagi mempunyai pekerjaan yang tetap untuk menafkahi kelangsungan hidupnya. Mereka merupakan orang-orang yang tergolong dalam kelompok Helenis.
    Istilah Helenis (berasal dari kata ‘Eλλην Héllēn, istilah yang dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk menyebutkan nama etnik mereka) mula-mula dipakai oleh ahli sejarah Jerman, Johann Gustav Droysen merujuk pada penyebaran peradaban Yunani pada bangsa bukan Yunani yang ditaklukkan oleh Aleksander Agung. Menurut Droysen, peradaban Helenistik adalah fusi/gabungan dari peradaban Yunani dengan peradaban Timur Dekat. Pusat kebudayaan utama berkembang dari daratan Yunani ke Pergamon, Rhodes, Antioch dan Aleksandria/Iskandariyah.
    Mengetahui berbagai persoalan yang dihadapi umat yang dapat mengancam eksistensi hidup beriman umat kepada ajaran Kristus, Paulus tidak tinggal diam. Paulus melakukan sejumlah perjalanan untuk mengunjungi jemaat-jemaat guna memberikan penguatan bagi umat.
    Dalam perjalanan Paulus yang ketiga untuk memberitakan injil, Paulus tinggal di Efesus selama tiga tahun. Berdasarkan pengalaman perjalanannya yang terdahulu, Paulus sudah punya strategi dalam melakukan pelayanannya. Paulus menggunakan pendekatan-pendekatan yang menekankan pada norma-norma etika sosial yang merangkul seluruh lapisan masyarakat. Pemberian nasehat dan pemberitaan injil dilakukan kepada masyarakat di Efesus secara sopan dengan bahasa yang mudah diserap dan dimaknai. Paulus mengangkat pembantu-pembantunya dalam tugas melayani antara lain Timotius (Roma 16:21; 1 Kor 4:17; 16:10; Filp 2:19-23, dll), Titus (2 Kor 7:6, 13; 8:6-17, 23, dll), Lukas, Tikhikus (Ef 6:21 ; Kol 4:7, dll).
    Selanjutnya tokoh Timotius menjadi penting untuk penulis ulas guna kepentingan penulisan. Timotius adalah dari perkawinan campuran; ibunya seorang Yahudi dan ayahnya adalah seorang Yunani (Kis 16:1 dan 2 Tim 1:5). Ia lahir di Listra. Dari kesaksian Paulus ia banyak dihormati saudara-saudara Kristennya. Tidak tahu persis kapan ia menjadi Kristen. Tapi ada kemungkinan ia bertobat waktu Paulus mengadakan perjalanan misi pertama di Listra. Ibu Timotius juga dikenal sebagai orang Kristen Yahudi. Paulus sering menyebut Timotius sebagai anak dalam iman yang dikasihi. Banyak ahli berpendapat bahwa Timotius diper-siapkan Paulus untuk menjadi penggantinya, meskipun Timotius sendiri tidak berani dan segan. Timotius ditunjuk Paulus untuk menjadi penatua, dan yang dipercayai sebagai pilihan Allah melalui nubuat dan penumpangan tangan. Ia menjadi teman sekerja Paulus dalam penginji¬lan (I Tim 4:14, 2 Tim 1:6-7), membantu Paulus sebagai penulis. Ketika di penjara Timotius membantu Paulus, bahkan sampai menjelang ajal, Timotius tetap melayani Paulus. Paulus meninggalkan Timotius di Efesus dan melanjutkan perjalanan untuk menjelajahi daerah-daerah di Makedonia dan tiba di Filipi dan dipenjarakan di sana.
    Tampaknya ada keluh kesah dan pembicaraan mengenai mereka (bnd. 1 Tim 5:9, 20).Penilik jemaat diangkat secara Yahudi dengan “menumpangkan tangan” (1 Tim 5:22). Dari 1 Tim 4:14 dapat disimpulkan bahwa mereka merupakan semacam “dewan”, sesuai dengan kepemimpinan orang Yahudi (bnd. Luk 22:66 dan Kis 22:5).  Penilik jemaat (episkopos) pada waktu itu adalah tuan rumah dari jemaat yang beribadah di rumahnya, dan karena itu menjadi pengawas/penilik atas pertemuan jemaat di sana. Rasul Paulus menasehatkan Timotius dan jemaat agar tugas ini tidak diberikan kepada sembarang orang. Menurut Paulus, Seseorang yang baru bertobat tidak dapat menjadi pemimpin jemaat.  Mereka harus dipilih dari antara anggota-anggota jemaat yang terbaik (Tit 1:6 ; 1 Tim 3:2).  Yang menjadi sorotan Paulus dalam konteks 1 Timotius 3:1-7 ialah siapakah yang pantas atau layak untuk menduduki/menerima jabatan sebagai penilik jemaat, sehingga Paulus dalam nasehatnya kepada Timotius memberikan dasar-dasar atau syarat-syarat bagi orang-orang yang nantinya akan diangkat dalam jabatan sebagai penilik jemaat itu, agar tugas penggembalaan umat dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
    Kata “penilik” jemaat (Yunani : episkopos), menunjuk pada seorang yang mempunyai kewajiban pastoral; gembala.  Kalau mencermati teks kewajiban pastoral; gembala ada pada penilik maka dalam tataran konteks pelayanan kewajiban pastoral pun ada pada mereka yang disebut Pendeta atau penginjil, penatua dan diaken yang terdapat dalam Peraturan Pokok GPM.  Dalam Peraturan pokok Gereja Protestan Maluku, seorang yang mempunyai kewajiban pastoral; gembala adalah “Majelis Jemaat” yang terdiri dari : Pendeta dan/atau Penginjil, Penatua-penatua, dan Diaken-diaken.
    Menurut Kamus Alkitab (LAI), dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat para rasul, penatua-penatua (kadang-kadang juga disebut: tua-tua jemaat) merupakan para pemimpin yang bertanggung jawab atas kehidupan jemaat. Tugas mereka ialah “menggembalakan kawanan domba Allah …. Sebagai teladan bagi kawanan domba itu”, dalam tanggung jawab kepada “Gembala Agung” (1 Ptr. 5:1-4).
    Tidak ada gereja yang dapat berfungsi tanpa pemimpin-pemimpin yang ditetapkan. Oleh karena itu, seperti dinyatakan dalam Kisah Para Rasul 14:23, orang tertentu diangkat untuk jabatan sebagai penilik jemaat atau penatua oleh orang percaya yang dipenuhi dengan roh, yang mencari kehendak Allah lewat doa dan puasa, menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Roh Kudus dalam 1 Tim. 3:1-7 dan Tit. 1:5-9.  Dengan demikian yang dimaksud penilik jemaat dalam 1 Tim 3:1-7 adalah jabatan sebagai seorang penatua.
    Dalam hubungan dengan uraian sebelumnya, menarik bagi penulis cermati bahwa di tengah realitas konteks bergereja, ditemukan adanya pemimpin di aras jemaat yang dipilih untuk memimpin jemaat  tetapi tidak mengimplementasikan syarat-syarat sebagaimana ditetapkan untuk melaksanakan tugas dan fungsi dimaksud.
    Dalam kenyataan konteks ditemukan kewibawaan jabatan pelayanan dan kemurniaan pelayanan menjadi berkurang karena pemilihan penilik jemaat tidak konsisten dengan syarat-syarat sebagaimana yang diisyaratkan dalam Timotius, antara lain seorang yang tidak bercacat, suami dari satu istri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah, pendamai, bukan hamba uang seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Orang-orang yang dicalonkan hanya perlu menyatakan kesediaannya ataukah tidak, tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apakah dia itu pemabuk atau tidak? Apakah dia itu penjudi ataukah tidak? Bahkan ada hal yang serupa dengan konteks jemaat di Efesus ialah bahwa pencalonan sebagai penilik jemaat ialah mereka yang satu marga, satu pandangan, satu ormas dan sebagainya. Memang ada kriteria-kriteria atau syarat-syarat yang dari aturan gereja yang menyatakan bahwa; yang hendak mencalonkan diri ialah mereka yang sudah menikah dan mempunyai kepribadian hidup yang baik dalam jemaat dan masyarakat. Namun hal itu nampaknya sangat kontras dengan yang terjadi sekarang ini. Siapa saja bisa dicalonkan asalkan sudah menikah, telah menetap sekurang-kurangnya tiga tahun pada jemaat tersebut dan mendapat rekomendasi dari tiap-tiap unit pelayanan atau sektor untuk menjadi calon penilik jemaat. Yang menjadi masalah ialah bahwa pemberian rekomendasi tersebut diberikan dan disetujui oleh panitia pemilihan majelis jemaat tanpa diuji kelayakkannya dengan syarat-syarat di depan jemaat. Hal ini nampak dalam realitas berjemaat di lingkungan hidup penulis.
    Pemimpin jemaat yang berkarakter (dalam artian yang mempolakan nilai-nilai yang telah diteladankan Yesus) cukup sulit ditemukan keberadaannya dalam realitas hidup jemaat sekarang ini. Dalam realita konteks sekarang ini sikap arogan, egois, dan emosional menjadi hal yang senantiasa nampak sehingga menimbulkan keprihatinan atau bahkan menimbulkan kegelisahan dari mereka yang dipimpin. Dan sebaliknya sikap takut akan Tuhan, kesabaran, kelemahlembutan, kerendahan hati, pemimpin yang memiliki hati sebagai hamba menjadi hal yang langkah atau jarang ditemukan dalam pribadi dari pemimpin dewasa ini. Pemimpin yang berkarakter menjadi kebutuhan utama yang dirindukan umat/jemaat untuk dapat memimpin umat kepada suatu tatanan hidup berjemaat yang terarah dan sejahtera pada umumnya dan untuk dapat mengembangkan iman spiritual umat pada khususnya.
    Terhadap latar belakang dan realita yang ada pada jemaat maka penulis tertarik dan merasa perlu untuk mengkaji Surat 1 Timotius 3:1-7 sebagai suatu tulisan ilmiah dengan judul : Kepemimpinan Kristen (Suatu Tafsir Sosial Terhadap 1 Timotius 3 :1-7) Dan Implikasinya terhadap Kepemimpinan Kristen.

I.2    Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan masalah penulisan ilmiah ini adalah bagaimana menafsir atau menganalisis 1 Timotius 3:1-7 dengan menggunakan metode tafsir sosial dan implikasinya terhadap kepemimpinan kristen.


I.3  TujuanKajian   
Penulisan ini bertujuan untuk menafsir/menganalisis Surat 1 Timotius 3:1-7 dengan menggunakan metode tafsir sosial serta implikasinya terhadap kepemimpinan kristen.

I.4     Kegunaan Kajian
a.     Kegunaan Teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat guna pengembangan studi Biblika khusus memperkaya khasanah Hermeneutika Alkitab – Teks-teks Perjanjian Baru pada lembaga pendidikan  STAKPN  Jurusan Teologi.

b.     Kegunaan Praktis
Memberikan kontribusi teologis bagi pejabat gereja (pendeta/pelayan, penatua, dan diaken) terkait dengan kepemimpinan kristen dan warga Kristen secara umum.







I.5     Definisi Istilah
Penilik Jemaat    : Orang yang bertindak sebagai tuan rumah dalam ibadah-ibadah jemaat/umat sekaligus bertanggung jawab sebagai pengawas.
Pemimpin    :    seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi individu dan/atau sekelompok orang lain untuk bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Kepemimpinan        :     hubungan yang ada pada diri pada seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang dinginkan.
Kepemimpinan Kristen    :    kepemimpinan yang dimotivasi oleh kasih dan disediakan khusus untuk melayani.






I.6     Kajian Pustaka
I.6.1 Teori Pemimpin
    Perkataan Pemimpin atau Leader mempunyai macam-macam pengertian. Definisi mengenai pemimpin banyak sekali, yaitu sebanyak pribadi yang meminati masalah pemimpin tersebut. Karena itu kepemimpinan merupakan dampak interaktif dari faktor individu/pribadi dengan faktor situasi.
    Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan; khususnya kecakapan kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Jadi, pemimpin itu ialah seorang yang memiliki satu atau beberapa kelebihan sebagai predisposisi (bakat yang dibawa sejak lahir), dan merupakan kebutuhan dari satu situasi/zaman, sehingga dia mempunyai kekuasaan dan kewibawaan untuk mengarahkan dan membimbing bawahan. Dia juga mendapatkan pengakuan serta dukungan dari bawahannya, dan mampu menggerakkan bawahan ke arah tujuan tertentu.
Henry Pratt Fairchild menyatakan bahwa pemimpin dalam pengertian luas ialah seorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain, atau melalui prestise, kekuasaan atau posisi. Dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya.
John Gage Allee menyatakan bahwa “Leader … a guide; a conductor; a commander” (pemimpin itu ialah pemandu, penunjuk, penuntun, komandan).
Definisi berikut ini lebih menekankan aspek politisnya, yaitu: pemimpin ialah kepala aktual dari organisasi partai di kota, dusun atau subdivisi-subdivisi/bagian-bagian lainnya. Sekalipun dia itu secara nominal (pada namanya) saja dipilih secara langsung atau tidak langsung oleh pemilih-pemilih pemberi suara partai, secara aktual dia itu sering dipilih oleh satu klik kecil atau oleh supervisor langsung dari partai. Perbedaan antara boss (kepala, atasan, majikan) dan pemimpin, sebagian besar tergantung pada metode pemilihan, dan tokoh pemimpinnya yang melaksanakan kekuasaan.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan itu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya, untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran tertentu.


I.6.2 Syarat-syarat Memilih Calon Pemimpin
Persyaratan paling utama bagi seorang calon pemimpin ialah dapat memimpin orang lain ke arah pencapaian tujuan organisasi, dan dapat menjalin komunikasi antarmanusia, karena organisasi itu selalu bergerak atas dasar interaksi antarmanusia.
Menurut O. Jeff Harris, orang-orang yang perlu dipilih sebagai kandidat-kandidat atau calon pemimpin adalah mereka yang mempunyai kualifikasi antara lain sebagai berikut:
1)    Kemauan untuk Memikul Tanggung Jawab
       Bila seorang pribadi menerima tugas kepemimpinan, harus berani memikul tanggung  jawab bagi setiap tingkah lakunya, sehubungan dengan tugas-tugas dan peranan yang harus dilakukan. Menerima tanggung jawab kepemimpinan mengandung resiko menerima sanksi-sanksi tertentu bila ia tidak mampu mencapai hasil yang diharapkan. Kebanyakan pemimpin merasakan, bahwa peranan sebagai pemimpin itu mengandung banyak dan tuntutan. Terutama penggunaan waktu, usaha, dan pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif. Dan tugas-tugas ini menuntut energi yang banyak sekali.
Karena peranan kepemimpinan itu harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang cukup berat, maka diharapkan agar orang-orang yang diserahi jabatan pemimpin itu benar-benar.
a)    Menghendaki peranannya dan
b)    Sanggup menerima tanggung jawab.
Oleh kekuasaan dan kewibawaannya, dia mendapatkan status, posisi, serta penghargaan tertentu (motivasi pribadi). Sedang sasaran ialah dia mampu membawa pengikutnya pada pencapaian tujuan organisasi.
2)    Memiliki Kemampuan untuk Menjadi Perseptif
Persepsi adalah kemampuan untuk melihat dan menanggapi realitas nyata. Dalam hal ini pemimpin perlu mempunyai daya persepsi - disertai kepekaan yang tinggi – terhadap semua situasi organisasi yang dibawahinya yaitu mengamati segi-segi kekuatan dan kelemahannya.
Pemimpin harus juga mampu mengadakan introspeksi, melihat ke dalam diri sendiri, agar ia mengenali segi-segi kemampuan dan kelemahan sendiri, dikaitkan dengan beratnya tugas-tugas dan besarnya tanggung jawab harus dipikulnya.
3)    Kemampuan untuk Menanggapi secara Objektif
Objektifitas merupakan kemampuan untuk melihat masalah-masalah secara rasional, impersonal (zakelijk) tanpa prasangka. Objektifitas adalah kelanjutan dari perspektifitas dengan mengabaikan sebanyak mungkin faktor-faktor pribadi dan emosional yang bisa mengakibatkan kaburnya kenyataan. Objektifitas juga merupakan unsur penting dari pengambilan keputusan yang bijaksana, dan melakukan satu seri tindakan yang konsisten.



4)    Kemampuan untuk Menetapkan Prioritas Secara Tepat
Seorang pemimpin itu harus benar-benar mahir memilih mana bagian yang penting dan harus didahulukan, dan mana yang kurang penting sehingga bisa ditunda pelaksanaannya. Jadi, mampu mengambek-paramartakan pemecahan masalah. Juga sanggup memilih keputusan secara bijaksana dari sekian banyak alternatif dengan tepat.
Pemimpin yang efektif adalah orang yang mampu memilih “gabah” dari “antahnya”. Dia mampu mendahulukan perencanaan, persiapan, dan alat-alat yang akan digunakan oleh petugas-petugas bawahan yang ada di bawah kewenangannya, sebelum dia sendiri melaksanakan tugas-tugasnya.
5)    Kemampuan untuk Berkomunikasi
Kemampuan untuk memberikan informasi dengan cermat, tepat dan jelas juga kemampuan untuk menerima informasi dari luar dengan kepekaan tinggi, merupakan syarat mutlak bagi pemimpin yang efektif. Dia mampu menjabarkan “bahasa policy” ke dalam “bahasa operasional” yang jelas dan singkat. Maka segenap tanggung jawabnya akan menjadi lebih mudah sehubungan dengan tugas-tugas yang harus didistribusikan kepada bawahan atau pengikut-pengikutnya.
Spesialisasi kerja dalam bentuk unit-unit yang kecil-kecil membawa kita pada sistem hierarki kerja dengan segala kompleksitasnya. Maka untuk tugas-tugas koordinasi dan supervisi terhadap unit-unit tersebut, - agar bisa menjadi bagian-bagian yang terkuasai -, diperlukan keterampilan komunikasi yang tinggi. Sebab, komunikasi yang tidak baik antara pemimpin dan pengikut/anak buah, akan menimbulkan hal-hal seperti banyak prasangka, kecemasan, ketegangan batin, dan konflik-konflik baik yang tertutup dalam diri sendiri maupun yang terbuka dengan orang lain.
Komunikasi yang tidak lancar menimbulkan perasaan duka, terisolasi dan dipisahkan dari organisasi. Dan hal ini menyebabkan banyak kecemasan, ketegangan batin, kepekaan-lebih atau oversensitivitas, mudah berkonflik dengan orang di sekitarnya. Komunikasi yang kurang lancar juga menyebabkan banyak kesulitan dan kesalahpahaman, karena permasalahannya tidak dapat dipecahkan dan didiskusikan. Mereka jadi mudah pepat hati, berduka, dan depresif. Semua ini menyebabkan banyak frustasi di kalangan anak buah atau pengikut sekaligus peristiwa tersebut juga menambah beban psikologis pada pribadi pemimpin.
I.6.3 Teori Kepemimpinan
Benis mengenai kepemimpinan berkata “…. the process by which an agent induces a subordinate to behave in a desire manner” (proses dengan mana seorang agen menyebabkan bawahan bertingkah laku menurut satu cara tertentu).
Ordway Tead dalam bukunya The Art of Leadership menyatakan kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
George R. Terry dalam bukunya principle of Management berkata kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok.
Howard H. Hoyt dalam bukunya Aspect of Modern Public Administration menyatakan kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia, kemampuan untuk membimbing orang.
Dari beberapa definisi di atas diketahui bahwa pada kepemimpinan itu terdapat unsur-unsur:
-    Kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok,
-    Kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau orang lain,
-    Untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
I.6.4 Teori Kepemimpinan Otokrasi
Menurut Hendiyat Soetopo dalam bukunya Kepemimpinan dan
Supervisi Pendidikan bahwa kepemimpinan yang otokrasi yaitu pemimpin
lebih bersifat ingin berkuasa, suasana disekolah tegang. Pemimpin sama
sekali tidak memberi kebebasan kepada anggota kelompok untuk turut
ambil bagian dalam memutus suatu persoalan. Sedangkan menurut
Ngalim Purwanto kepemimpinan Otokrasi atau otoriter meliputi:
1).     Menganggap organisasi yang dipimpinnya sebagai milik pribadi,
2).    Mengidentifikasikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi,
3).     Menganggap bawahan sebagai alat semata- mata,
4).    Tidak mau menerima pendapat, saran, dan kritik dari anggotanya,
5).     Terlalu bergantung pada kekuasaan formalnya,
6).     Cara menggerakkan bawahan dengan pendekatan paksaan dan bersifat  mencari kesalahan atau menghukum.
Di sini pemimpin dalam hal ini kepala sekolah mendikte kepada
anggota yang ada di bawah kepemimpinannya, gaya mendikte dapat
digunakan ketika para tenaga kependidikan berada dalam tingkat
kematangan rendah, sehingga perlu petunjuk serta pengawasan yang jelas.
Dengan gaya ini, Supervisor membatasi peranan bawahan dan memberitahu mereka tentang apa, bagaimana, bilamana, dan dimana melakukan pekerjaan.
Gaya kepemimpinan yang otokrasi/otoriter ada baiknya diterapkan
pada sekolah di mana keadaan para guru dan stafnya masih memerlukan
petunjuk dari kepala sekolah dan belum bisa menentukan apa yang baik
untuk dikerjakan, dengan gaya seperti ini perlu guru dan staf yang belum
berpengalaman akan mengerjakan tugasnya sesuai dengan petunjuk dari
kepala sekolah sehingga pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan schedule
yang dibuat oleh kepala sekolah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya otokrasi/otoriter yaitu gaya kepemimpinan dimana pengambilan keputusannya dalam segala hal terpusat pada seorang pemimpin, para bawahan hanya bergerak menjalankan tugas-tugas yang diatur pemimpin.
Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan otokrasi, antara lain: dalam kepemimpinan yang otokrasi, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Kekuasaan pemimpin otokrasi hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsirannya sebagai pemimpin otokrasi tidak lain adalah menunjukkan dan memberi perintah, tidak ada koordinasi dengan para bawahan diartikan sebagai kepicikan, pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah ditetapkan. Kekuasaan yang berlebihan ini dapat menimbulkan sikap menyerah tanpa kritik “Asal Bapak Senang” terhadap pemimpin dan kecenderungan untuk mengabdikan perintah dan tugas tidak ada pengawasan langsung. Dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi terhadap kepemimpinan, atau menimbulkan sifat apatis, atau sifat agresif pada anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya.
I.6.5 Teori  Kepemimpinan Teokrasi
Teokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana agama atau iman memegang peran utama. Kata "teokrasi" berasal dari bahasa Yunani θεοκρατία (theokratia). θεος (theos) artinya “Tuhan” dan κρατειν (kratein) “memerintah”. Teokrasi artinya “pemerintahan oleh Tuhan”. Teokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana agama atau iman memegang peran utama. (adalah negara yang menjadikan agama sebagai pedoman pemerintahan).



I.6.6 Kepemimpinan Kristen
Di dalam Alkitab Allah memberikan banyak nilai bagi kehidupan manusia. Ia juga memberikan kita nilai-nilai yang harus mendasari kepemimpinan Kristen. Para pemimpin adalah pelayan (Mrk. 10:43-44), gembala (Yoh. 21:17), orang yang memperlengkapi umat Allah (Ef. 4:12), orang yang mengasihi orang lain (II Kor. 2:8), pendisiplin (Gal. 6:1), guru (II Tim. 2:2), penilik jemaat (Tit. 1:7), pengoreksi, penegur, dan penasehat (II Tim. 4:2). Para pemimpin Kisten harus menghargai kebenaran (Yoh. 8:32), memperhatikan kebutuhan orang lain (Yoh. 21:16), menyembah (Flp. 3:3), mengasihi (Yoh. 13:34), dan menginjili (I Kor. 9:19).
Ada banyak nilai-nilai kepemimpinan yang dapat dikutip dalam Alkitab, di antaranya : Kebenaran (Kol. 3:9), kasih (Yoh. 13:34), penginjilan (I Kor. 9:19), pelayanan (II Kor. 9:12), Ibadah (Flp. 3:3), memperlengkapi (Ef. 4:11), pertumbuhan (Ef. 4:12), kesatuan (Ef. 4:13), kestabilan (Ef. 4:14-15), persiapan (Ef. 4:16), kekudusan (I Tes. 3:13), pengenalan akan Allah (II Tes. 2:14), pemberitaan Kristus (Kol. 1:28), doa (Kol. 4:2), pengorbanan (Roma 12:1).
Nilai-nilai adalah mesin yang menggerakan kepemimpinan Kristen yang mengubahkan. Nilai-nilai akhir mengidentifikasikan sasaran serta tujuan, dan nilai-nilai dasar menentukan cara berperilaku dalam mencapai nilai-nilai akhir tersebut. Nilai-nilai ini secara mendalam mengarahkan dan memotivasi para pemimpin yang mengubahkan, serta mempengaruhi secara mendalam pikiran dan aksi serta memutuskan jalan bagi organisasi mereka. Para pemimpin yang memegang nilai-nilai yang berpusatkan pada diri sendiri akan menghancurkan organisasi mereka. Sekalipun di dalam organisasi Kristiani, nilai-nilai para pemimpin mungkin membuahkan kejahatan bukannya kebaikan. Para pemimpin Kristen yang mengubahkan harus menemukan nilai-nilai mereka di halaman-halaman Kitab Suci.Nilai-nilai semacam itu menyediakan dasar bagi visi para pemimpin dan berguna bagi keefektifan dalam pencapaian visi mereka.

I.7    Metodologi
    Tafsir Sosial
Dalam penulisan skripsi ini saya menggunakan metode tafsir sosial, merupakan suatu metode yang memberikan penjelasan sistimatik mengenai hubungan dialektik antara kenyataan–kenyataan struktural dan eksistensi individu/kegiatan manusia membangun kenyataan dalam sejarah; dimulai dengan pertama mencermati realitas sosial suatu masyarakat yang membangun sejarah. Pemahaman mengenai dialektika antara kenyataan sosial dan eksistensi individu/ masyarakat dalam sejarah bukanlah soal baru. Kedua, diperlukan di sini suatu  perspektif  yang  dialektik  dalam  orientasi teoritis: teori–teori sosial digunakan untuk melakukan tafsiran terhadap realitas sosial masyarakat . Dapat  dikatakan pendekatan ilmu sosial terhadap tafsir sosial menjadi dasar sebuah model. Interpetasi terhadap teks dari bentuk yang lampau, di mana penafsir membayangkan bagaimana arti fungsi, bagaimana fungsi digunakan, bagaimana mereka berhubungan satu dengan yang lain. Model operasional dari hubungan mereka  pada dasarnya merupakan model sosial, model ilmu sosial. Untuk tujuan studi  ilmu biblika, disetujui bahwa model ilmu sosial dapat mengikuti kritik ilmu sosial.    
Teori sosial digunakan dalam menafsir realitas suatu masyarakat. Masyarakat yang penulis maksudkan untuk dilakukan tafsir sosial adalah jemaat di Efesus yang kacau balau terkait dengan masalah di kalangan pemimpin jemaat. Sehingga obyeknya adalah Efesus (Para pemimpin dan jemaat) sebagai bagian dari suatu dunia manusiawi, kegiatan yang dibuat oleh manusia Efesus, dihuni  oleh manusia, dan pada akhirnya membuat manusia berada dalam suatu proses historis yang berlangsung. Oleh sebab itu surat 1 Timotius pada teks yang  dipilih menjadi materi acuan untuk dilakukan tafsir sosial.
Teks Alkitab yang ditulis oleh penulis kitab sesuai konteks penulisan membutuhkan suatu penafsiran untuk dapat mendekati pengertian yang benar dan baik. Tahapan penafsiran ini penting untuk dilakukan oleh setiap penafsir teks Alkitab dengan pertimbangan bahwa teks Alkitab yang sampai di tangan pembaca telah mengalami proses yang panjang sekali dan diteruskan dalam bentuk lisan dan tertulis oleh suatu angkatan (dalam artian penulis) dari suatu masyarakat kepada angkatan berikutnya dalam bentuk tulisan tangan. Teks yang diteruskan tersebut, mungkin di tengah jalan antara generasi mendapat perubahan karena tanggapan tiap-tiap angkatan dari masing-masing masyarakat keluarga, baik karena kesalahan alifbata dalam kata-katanya, maupun dengan sengaja karena ketidaksesuaian ajaran pada masa itu. Perkembangan yang terjadi bahwa tanggapan terhadap Alkitab diterima karena Alkitab mempunyai sejarahnya juga, di samping sejarah masyarakat Israel purbakala dan bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya.            
Untuk penafsiran teks Alkitab diperlukan metode bukan untuk mengubah teks yang ada, bukan untuk merombak, sehingga menyusun suatu konstruksi yang baru, tetapi penafsiran dilakukan untuk mendekati kedudukan teks dengan benar serta menerangkannya secara baik. Fungsi metode hanya sebagai alat untuk menjelaskan aspek-aspek yang kurang jelas di sekitar teks.
Sumbangan yang berarti dalam membangun sociological exegesis datang dari Bruce Malina dalam karyanya “The Social Sciences and Biblical Interpretation”, (diedit Gottwald, The Bible and Liberation). Malina mengajukan tiga model untuk melihat bagaimana dunia sosial Alkitab berlangsung, yakni:       
1.    Model struktural-fungsional, yang mencakup tatanan atau tertib dan harmonis sosial. Model ini diarahkan untuk melihat perkembangan masyarakat, aktivitas masyarakat dan menganalisa hubungan-hubungan yang ada serta tujuannya. Model ini membantu untuk melihat tingkat kohesivitas dan integrasi masyarakat melalui konsensus, nilai-nilai dan norma-norma, sebab masyarakat diikat oleh nilai yang terwujud dalam hidup manusia melalui interelasi sistem dan institusi sosial.    
2.    Model Konflik, mencakup perjuangan/persaingan dan perubahan sosial. Model ini merangkap tentang sistem sosial yang tersusun atas berbagai kelompok dengan tujuan dan perhatian yang berbeda, dan memiliki kiat-kiat untuk merealisasi tujuan mereka. Tiap kelompok melindungi kepentingan anggotanya, dan relasi antar kelompok ditandai oleh ketidaksetujuan, tekanan, konflik dan kekerasan. Namun konflik merupakan proses sosial yang normal, oleh sebab itu di samping melindungi anggotanya, setiap sistem sosial mesti  membangun relasi dengan lainnya agar tercipta keseimbangan. Di situlah model konflik mengarah pada perubahan sosial.            
3.    Model Interaksi-Simbolis. Mencakup tingkah-laku sosial yang didasarkan pada makna dan nilai sosio-kultural. Tingkah-laku individu dan kelompok terhimpun dalam simbol-simbol makna dan harapan yang diikat oleh obyek nilai sosial; seperti diri sendiri, orang lain, alam, waku, tempat dan Segalanya (Allah). Simbol-simbol makna itu diwujudkan dalam interaksi sosial; di mana setiap orang memainkan peran sosialnya.
Berdasarkan uraian tiga bentuk di atas maka dalam hubungan dengan masalah skripsi ini penulis memilih pendekatan model struktural-fungsional karena, Pertama: melihat masyarakat pada dasarnya terintegrasi atas dasar kesepakatan para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan, suatu general agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan diantara anggotanya.                                    
Artinya bahwa masyarakat alamat surat I Timotius terintegrasi karena dasar kepercayaan/keyakinan terhadap Yesus Kristus yang telah diberitakan para Rasul. Kepercayaan/keyakinan akan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan Yesus Kristus menjadi bagian dalam proses pembatinan nilai masyarakat Kristen alamat Surat I Timotius yang dapat mengeliminir perbedaan pendapat dan perbedaan kepentingan di antara sesama masyarakat Kristen tersebut. Kedua:Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi kedalam suatu bentuk ekulibrium (keseimbangan). Pendekatan ini sering juga disebut integration approach, equilibrium approach atau dengan kata yang paling populer yaitu structural funcitional approach.
Artinya bahwa masyarakat Alamat Surat I Timotius sebagai sustu sistem terintegrasi karena kepercayaan/keyakinan yang sama dengan muatan nilai-nilai yang sama dari Yesus Kristus diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat Kristen zaman itu yang dapat menjadi daya dorong dan memiliki resistensi internal bagi masyarakat dalam menjaga keseimbangan hidup bersama.               
Inti pemikiran Spencer, terlihat dalam beberapa pokok pemikirannya yakni :
1.    Masyarakat dan organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan
2.    Pertambahan ukuran struktur atau tubuh sosial dan tubuh organisme hidup, sama-sama akan semakin banyak bagian-bagian atau kompleks.
3.    Setiap bagian dalam tubuh organisme hidup dan organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tententu.
4.    Perubahan pada suatu bagian baik organisme sosial maupun sistem sosial akan mengalami gangguan secara keseluruhan.
5.    Bagian-bagian tersebut bisa dipelajari secara terpisah, misal sistem ekonomi, politik, didalami oleh berbagai ahli.
Asumsi dasar tersebut merupakan awal dari perkembangan teori struktural fungsional. Selanjutnya teori struktural fungsional memperoleh bentuknya yang cukup bertahan lama dalam pemikiran Talcot Parson. Asumsi dasar yang   dikembangkan oleh Parson dan pengikutnya yaitu :
1.    Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan.
2.    Hubungan yang terjadi saling mempengaruhi dan bersifat ganda dan timbal balik.
3.    Secara fundamental sistem cenderung bergerak menuju ekuilibrium (keseimbangan) -- sosialisasi dan pengawasan sosial (control social) dilakukan untuk menanggapi perubahan yang datang dari luar.
4.    Difungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan akan senantiasa terjadi, tetapi dalam jangka waktu yang panjang akan teratasi melalui institusional dan kelembagaan.
5.    Perubahan-perubahan didalam masyarakat secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian tidak secara revolusioner.
6.    Perubahan di dalam masyarakat terjadi karena, penyesuaian, pertumbuhan, penemuan-penemuan baru.
7.    Adanya konsensus yang memberikan kekuatan masyarakat untuk terintegrasi.
Tujuh poin tersebut setidaknya merupakan asumsi-asumsi dasar dari teori struktural fungsional. Secara umum pendekatan ini melihat bahwa masyarakat dikaji sebagai sebuah sistem.
Lebih lanjut Parson memberikan sebuah acuan skema yang dikenal dengan AGIL (adaptation, goal, integration, lantency). Skema ini dijelaskan demikian :
A     =      adaptasi, sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar
G     =     goal, sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya
I     =      integrasi, sistem harus mengatur setiap kompenen sistem.
L = Latensi, pemeliharaan pola yang menjadi dasar bagi keseimbangan sistem tersebut.
Tokoh lainnya, Robbert K. Merton, sebagai penganut teori struktural fungsional memberikan analisis sistem sosial masyarakat modern yaitu birokrasi. Ada beberapa temuannya mengenai sistem birokrasi tersebut yaitu :
1.    Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal.
2.    Memiliki pola kegiatan dengan batas-batas yang jelas.
3.    Kegiatan diarahkan untuk tujuan organisasi.
4.    Jabatan-jabatan dalam organisasi disesuaikan dengan struktur birokratis.
5.    Status dalam birokrasi tersusun secara hierarkis.
6.    Adanya aturan-aturan yang jelas dalam pelaksanaan kewajiban dan hak.
7.    Otoritas pada jabatan bukan pada orang.
8.    Hubungan-hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal.
Kerangka yang diungkapkan oleh Merton merupakan salah satu hasil dari penerapan persfektif structural fungsional dalam melihat organisasi birokrasi dalam masyarakat modern.
Secara sederhana sosiological exegesis menggunakan unsur (a) setting sosial, yaitu lingkungan dari mana teks itu dihasilkan; (b) genre atau bentuk teks sebagai salah satu bentuk ekspresi masyarakat; (c) issu utama dan situasi empirik, yakni pergumulan atau masalah sosial pokok yang terkandung dalam teks; (d) pola komuniti atau gambaran hubungan sosial dalam teks; (e) pesan atau nilai sosial yang terkandung dalam teks sebagai bahan pelajaran universal, atau tujuan sosial teks, (f) perspektif sosio-politis para penulis.            
Berdasarkan pandangan  para ahli, menurut hemat saya tafsir sosial merupakan salah satu metode tafsir yang dikembangkan dengan memberikan fokus pada  teks  yaitu realitas kehidupan sosial suatu masyarakat yang telah terstruktur (masyarakat Kristen Yahudi-Romawi) dan proses interaksi yang terjadi karena pengaruh elemen struktur masyarakat yang berlangsung.
Jadi dalam tafsir sosial yang menjadi konsentrasi bukan pada teks sebagai kesatuan sastra atau sejarah  teks yang dianalisis tetapi teks Alkitab dipandang dari sudut kehidupan sosial pembaca. Dengan demikian teks dipandang memiliki kekayaan latar sosial yang dapat dieksplor untuk memahami  mengadanya suatu teks dan pesannya  kepada pembaca teks.   
Dengan menggunakan metode tafsir ini realitas lingkungan sosial dan catatan yang berhubungan kehidupan dalam teks dapat digali, di mana  teori–teori sosial menentukan kerangka interpretasi . Suatu metode tafsir yang menafsirkan teks. Teks yang dimaksudkan di sini diperluas menjadi objek–objek dan struktur–struktur simbolis yaitu fenomena sosial kultur. Teks dapat juga adalah  para pelaku sosial seperti  dalam suatu  masyarakat  yang hendak ditafsir, dengan  tujuan  untuk  dapat memahami makna teks dimaksud.
Menurut Norman Gottwald, dalam ilmu sosial paradigma diperluas, yang disetujui bahwa tulisan–tulisan Alkitab berakar dalam interaksi grup–grup dari suatu kumpulan orang–orang dalam struktur sosial yang dikontrol oleh pemimpin atau kepala dari suatu kehidupan publik, seperti keluarga, ekonomi, pemerintahan, hukum, dan ritual kepercayaan.
Tafsir sosial  mencoba untuk meletakan buku Alkitab  atau sub bagian dari buku Alkitab dalam latar belakang sosial secara tepat. Menempatkan hubungan literer  ke dalam hubungan dengan relasi sejarah antara bagian-bagian yang ada sebagai suatu keutuhan. Pertanyaannya adalah bagaimana menghubungkan struktur literer sosial? Pada  satu sisi  kritik literer menuntut konteks sosial tidak dimasukan dalam teks–teks. Tetapi pada sisi lain kritik sosial dan antropologi mengklaim bahwa teks–teks murni dan sederhana sekaligus merupakan proyek kehidupan sosial dan suatu kesadaran. 

I.8     Sistematika Penulisan
Adapun tulisan ini disajikan sebagai berikut, BAB I merupakan Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan kajian, kegunaan kajian, definisi istilah, kajian pustaka, metodologi dan sistimatika penulisan.BAB II Merupakan Konteks sosial terhadap Surat I Timotius 3:1-7, BAB III merupakan Eksegese Terhadap 1 Timotius 3:1-7, BAB IV merupakan Implikasi dan BAB V merupakan Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
















BAB II
KONTEKS SOSIAL SURAT 1 TIMOTIUS

Pada bagian ini penting bagi penulis untuk mengulas tentang penulis dan penerima Surat I Timotius untuk membantu memahami konteks sosial Surat I Timotus.
Surat I Timotius digolongkan dalam kelompok surat-surat pastoral bersama dengan Surat II Timotius dan Titus. Sebagai surat-surat pastoral, I dan II Timotius dan Titus memiliki cukup banyak kemiripan dalam gaya dan isi suratnya, karena mereka mengandung nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk pastoral bagi Pastor/pemimpin jemaat. Tradisi gereja mengklaim surat-surat ini sebagai tulisan Paulus kepada dua koleganya yaitu Timotius dan Titus. Akan tetapi, menurut data-data historis yang dikemukakan oleh para ahli Perjanjian Baru, surat ini tidak ditulis oleh Paulus. Surat Timotius dan Titus ini merupakan surat yang ditulis oleh seorang pengarang yang tak dikenal (anonim), yang ditulis pada awal abad kedua, beberapa dekade setelah kematian Paulus.
Joanna Dewey berpendapat bahwa sejak perhatian utama dari tulisan-tulisan tersebut memberi batasan pada peran perempuan dalam gereja, maka kemungkinan penulisnya adalah laki-laki.  Bukti bahwa bukan Paulus yang menulis surat ini banyak.
Perrin mengemukakan beberapa alasan yang mendukung penolakan terhadap Paulus sebagai penulis surat-surat pastoral , antara lain :
1.    Kosakata
Dari 848 kosakata penting dalam surat-surat pastoral, 306 di antaranya tidak berasal dari Corpus Pauline (bahan-bahan Paulus), dan dari 306 kosakata ini 175 di antaranya tidak ada dalam tulisan Perjanjian Baru lainnya.  Sementara 211 kosakata merupakan kosakata yang umum digunakan oleh para penulis Kristen abad kedua. Kosakata dalam surat pastoral lebih dekat dengan dunia Helenis Yunani yang populer pada masa itu ketimbang kosakata yang digunakan dalam surat-surat Deutro Paulus. Surat-surat pastoral sering menggunakan istilah-istilah yang dipakai Paulus tetapi dalam pengertian yang berbeda dari pikiran Paulus, misalnya; konsep iman (Pistis) menurut Paulus dalam surat Roma adalah keselamatan diperoleh karena Iman kepada Yesus Kristus, bukan karena melakukan hukum Taurat atau perbuatan baik (Roma 1:1, 5, 8, 12, 17; 3:3, 21-31; 5:1). Sementara dalam surat pastoral, dalam konteks perkembangan gereja sebagai lembaga, iman menjadi sebuah konsep pengakuan yang baku tentang kepercayaan Kristen, merupakan bagian dari kredo gereja (1 Tim. 1:2,4-5, 14, 19; 2:7, 15; 3:9,13; 14:1, 6; 6:10).  Selain perbedaan konsep tersebut, surat pastoral juga memberi perhatian pada lembaga gereja, yang belum ada pada masa Paulus.


2.    Bentuk sastra
Paulus menulis dalam bahasa Yunani yang dinamis dan khas, dengan argumen-argumen yang dramatis, penuh dialog, sementara surat-surat pastoral lebih terpengaruh pada sastra Helenis Yunani dan tidak terbuka dialog dengan lawan atau para pengajar sesat yang dimaksud dalam surat ini.
3.    Situasi rasul Paulus yang tergambar dalam surat pastoral
Jika benar Paulus yang menulis surat ini, maka ia pasti telah dibebaskan dari pemenjaraannya di Roma dan melakukan perjalanan ke Barat. Tetapi hal tersebut tidak tampak dalam surat pastoral. Hal yang nampak justru seperti potongan kisah dari apa yang terjadi dalam rencana Paulus, bukan suatu refleksi terhadap kenyataan historis yang sebenarnya terjadi.
       Pseudonimas, menulis dengan menggunakan nama orang lain merupakan hal yang umum terjadi pada zaman dulu baik dalam kekristenan maupun non-Kristen, sebagai cara untuk mengklaim otoritas penulis terhadap isi dokumen yang ditulisnya, kadang-kadang digunakan untuk melegitimasi pikiran yang terkandung dalam tulisan tersebut agar dapat diterima.
        Penulis surat Pastoral mungkin sekali adalah seorang yang meyakini dirinya sebagai bagian dari pewaris tradisi Paulus. Ia mungkin merupakan generasi kedua atau ketiga yang menggunakan bahan-bahan Paulus. Ada kemungkinan juga bahwa para pengajar palsu yang disebut dalam surat-surat ini menggunakan bahan-bahan Paulus dalam pengajaran mereka dan karena itu, penulis surat pastoral berusaha melawan ajaran sesat itu dengan menggunakan pemahaman Paulus yang ia yakini benar.  Akhirnya, sangat sukar untuk mencocokan surat-surat ini dengan biografi Paulus.
    Untuk selanjutnya dalam penulisan ini, saya menggunakan “penulis I Timotius“ untuk mengidentifikasi pengarang surat ini.
    Menurut I Timotius 1:2, surat ini dialamatkan kepada Timotius, yang menurut Kisah Para Rasul 16:1, adalah anak seorang wanita Kristen Yahudi dan ayah asal bukan Yahudi dari Listra – kemungkinan ia menjadi Kristen melalui pengaruh Paulus (I Kor. 4:17). Namun, data-data historis yang dikemukakan para ahli berbeda satu dengan yang lain mengenai penerima surat ini. Barclay setuju bahwa penerima surat ini adalah Timotius historis yang merupakan rekan Paulus.
    Timotius adalah warga Listra di Propinsi Galatia. Kota itu merupakan koloni Romawi. Paulus dan Barnabas sampai di kota itu dalam perjalanan misionernya yang pertama (Kis. 14:8-21). Pada waktu itu tidak ada pernyataan mengenai Timotius, namun dapat diduga ketika Paulus berada di Listra, ia mendapat bekal di rumah Timotius. Hal ini lebih jelas dari fakta bahwa ia mengetahui dengan baik iman dan kesetiaan Eunike, ibu Timotius dan Lois, neneknya (2 Tim. 1;5). Dalam kunjungan Paulus yang pertama, Timotius masih sangat muda, tetapi iman Kristen telah ditanamkan kepadanya. Pada waktu Paulus berkunjung ke Listra dalam perjalanan misionernya yang kedua, saat itulah peranan timotius dimulai (Kis. 16:1-3).  Sejak saat itu, Timotius menjadi pendamping tetap paulus.
    Dalam I Tesalonika, Filipi, 2 Korintus dan Filemon, rasul itu menyebutkan dia sebagai pengirim bersama sebuah surat. Jelas ia merupakan rekan akrab Paulus dan juga utusannya. Dalam tugas ini, ia dikirim untuk mengunjungi jemaat-jemaat di Tesalonika (I Tes. 3:1), Filipi (Flp. 2:19) dan Korintus (I Kor. 4:17; 16:10). Timotius ditinggalkan di Berea bersama Silas ketika Paulus melarikan diri ke Athena. Namun, lalu Paulus bergabung lagi dengan dia di sana (Kis. 17:14-15; 18:5). Ia diutus sebagai pendahulu Paulus ke Makedonia (Kis. 19:22) dan ada di sana ketika sumbangan jemaat-jemaat untuk jemaat Yerusalem dikumpulkan (Kis. 20:4). Ia bersama Paulus di Korintus ketika Paulus menulis surat kepada jemaat di Roma (Roma 16:21). Ia menjadi pendahulu Paulus ke Korintus ketika terjadi ketidakpatuhan jemaat di sana (I Kor. 4:17; 16:10). Timotiuslah yang diutus Paulus untuk menyaksikan apa yang terjadi di Tesalonika dan bersama-sama Paulus ketika paulus menulis surat untuk jemaat itu (I Tes. 1:1; 3:2; 6).  Tradisi gereja meyakini bahwa surat I Timotius ditulis dari Makedonia kepada Timotius, yang tinggal di Efesus.  Di dalam Kisah Para Rasul 20:1; 2 Korintus 2:13, kita memperoleh keterangan bahwa Paulus hanya melakukan perjalanan dari Efesus ke Makedonia satu kali, dan pada perjalanan itulah ia mengutus Timotius untuk mendahuluinya dan nanti akan bergabung dengan Paulus di Makedonia (2 Kor. 1:1).
Pada kesempatan-kesempatan itu, Paulus dengan bangga memberitahukan kepada gereja-gereja itu bahwa Timotius setia dan dapat diandalkan. Gambaran yang diberikan Kisah Para Rasul tentang Timotius pada umumnya sesuai dengan gambaran yang Paulus berikan (Kis. 17: 14-15; 18:15; 19:22; 20:4).
Penjelasan Barclay ini masih disangsikan oleh para ahli yang lain, sebab jika benar Timotius historislah yang dimaksud sebagai penerima surat ini, hal ini sangat tidak mungkin karena Timotius historis ini hidup se-zaman dengan Rasul Paulus. Sementara pada bagian sebelumnya (mengenai pengarang) sudah jelas digambarkan bahwa bukan Pauluslah yang menulis surat ini (pseudonomin), ada kemungkinan hal yang sama (penggunaan nama orang lain tersebut) juga berlaku bagi penerima surat ini.
Berbeda dengan Barclay, Marxen  berpendapat bahwa surat ini tidak dimaksudkan untuk seorang saja (Timotius historis). Penulis 1 Timotius ini mengandaikan bahwa ada ajaran-ajaran sesat dalam jemaat dan berseru kepada pemimpin jemaat untuk melaksanakan jabatannya dengan benar dan kepada para anggota lainnya – paling tidak secara tidak langsung – untuk memenuhi tugas panggilan mereka.
Marshall Howard  juga sependapat dengan Marxen. Menurutnya, surat I Timotius tidak ditujukan kepada Timotius historis, tetapi kepada pemimpin jemaat, tetapi menggunakan nama Timotius untuk mengandaikan situasi gereja yang dialami saat itu sama seperti situasi gereja yang dialami pada masa Timotius historis.
Sejak tulisan-tulisan ini bukan ditulis oleh Paulus, entah ditujukan kepada Timotius dan Titus, diragukan bahwa surat-surat ini ditulis untuk pemimpin-pemimpin gereja yang spesifik (maksudnya Timotius historis). Penanggalan, kesamaan gaya dan isi dan referensinya yang merujuk pada “Kitab-kitab” (II Tim. 4:13) menunjukkan bahwa surat-surat ini ditulis dalam sebuah kodeks (atau manuskrip), bersama dengan teks yang lain agar melengkapi atau mengoreksi surat-surat warisan Paulus.
Surat-surat pastoral merupakan percobaan penggunaan otoritas Paulus untuk mempengaruhi pemahaman jemaat dalam gereja-gereja abad kedua. Para ahli meyakini bahwa surat-surat pastoral ini bukan merupakan tulisan Paulus,  tetapi menggunakan nama Paulus untuk memberi otoritas terhadap surat tersebut sebagai penggambaran situasi yang dihadapi gereja pada awal abad kedua masehi. Sebagai tulisan-tulisan pseudonimas, surat ini diperkirakan ditulis pada dekade pertama abad kedua, sekitar tahun 125 masehi.
Periode akhir sejarah Perjanjian Baru ditandai dengan pertumbuhan gereja secara institusional. Di dalam periode kira-kira tahun 100-140 masehi, gerakan orang-orang Kristen hampir mendekati satu abad eksistensinya. Walaupun masalah seperti penundaan Parousia tetap ada namun kesulitan dan kebutuhan yang baru terus berkembang. Karakteristik utama dari periode ini adalah bahwa gerakan kekristenan telah mengemban tugasnya sebagai gereja dalam dunia ini.  Parousia tidak lagi diharapkan untuk segera datang, dan orang-orang Kristen mulai belajar untuk menyesuaikan diri dengan perubahan konteks seperti kejatuhan Yerusalem dan hancurnya Bait Allah, dan membangun relasi serta norma pergaulan mereka dengan Yudaisme dan kekaisaran Romawi.    
Gereja, karena itu harus mengembangkan institusinya sendiri agar benar-benar menjadi gereja dalam dunia. Untuk tetap bertahan dan melaksanakan fungsinya dalam dunia, maka gereja harus memutuskan struktur organisasi, apparatus pengambilan keputusan, dan definisi terhadap fungsi para pegawai dan pelayan gereja. Untuk menjawab kebutuhan ini maka gereja Kristen periode akhir zaman Perjanjian Baru membangun suatu Pengakuan, Kanon dan Peraturan Organisasi Pelayanan Gereja.
Dalam konteks perkembangan gereja sebagai institusi inilah, surat-surat pastoral kemudian ditulis.
Adapun masalah-masalah yang dialami dalam konteks jemaat penerima surat I Timotius ini adalah pengaruh ajaran Gnostik dengan unsur-unsur Yahudi yang sangat kuat. I Timotius 1:3-20 memberi gambaran situasi jemaat yang terpengaruh ajaran sesat. Mengacu pada pasal 1:4, ada beberapa orang dalam jemaat yang mengajarkan ajaran lain atau sibuk dengan dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya, yang dianggap merupakan ajaran Gnostik yang cenderung berspekulasi. Referensi pada ayat 8-9 menggambarkan kuatnya ajaran Gnostik ini dengan elemen Yahudi yaitu hukum Taurat.
Barclay menjelaskan bahwa ajaran sesat itu dicirikan oleh kesombongan, yang menimbulkan berbagai persoalan (I Tim. 1:4), mereka terlibat dalam persoalan yang bodoh dan tidak layak yang perlu dihindari. TB-LAI  memakai kata “persoalan”, yang dalam bahasa Yunani menggunakan kata ekzetesis, yang artinya “angan-angan atau pemikiran yang sia-sia”.  Pemikiran yang sia-sia itu dapat menjadi persoalan, sehingga LAI menggunakan kata itu. Dalam 1 Tim. 6:4 dijelaskan bahwa penganut ajaran sesat bersikap sombong meskipun dalam kenyataannya tidak mengetahui apa-apa. Ajaran sesat itu menghasilkan amoralitas. Para bidat itu bahkan menyerbu rumah-rumah pribadi dan menjerat perempuan-perempuan lemah  dan bodoh ke dalam nafsu-nafsu jahat (2 Tim. 3:6). Mereka mengaku mengenal Allah namun menyangkal Dia dengan perbuatan-perbuatannya (Tit. 1:16). Mereka memaksakan kehendak kepada orang lain dan mendapatkan uang untuk aajaran-ajaran mereka yang sesat. Bagi mereka, kesalehan (LAI: ibadah) adalah sumber keuntungan (1 Tim. 6:5), mereka mengajar dan berbuat curang demi keuntungan (Tit. 1:11).
Dalam bagian ini ada baiknya jika kita sedikit mengetahui tentang kota Efesus sebagai tempat tinggal orang-orang Kristen, yang di dalamnya penulis 1 Timotius mengalamatkan suratnya (1 Tim. 1:3). Namun demikian, perlu dijelaskan bahwa penggambaran kota Efesus ini dikarenakan penulis 1 Timotius menggunakan dasar norma dan aturan-aturan yang diambil dari masa rasul-rasul untuk melegitimasi suratnya. Karena itu, sama seperti masalah kepengarangan surat ini yang menggunakan nama Paulus, maka konteks jemaat yang digambarkan dalam surat ini pun mengandaikan jemaat di Efesus sebagai salah satu jemaat yang dilayani oleh rasul Paulus, tetapi sebenarnya konteks real surat ini lebih berhubungan dengan jemaat-jemaat Kristen abad kedua (konteks perkembangan gereja sebagai lembaga).
Josefus mengidentifikasi Efesus sebagai sebuah kota “metropolis Asia”. Starbo, sejarawan Yahudi mencatat bahwa kota itu “oleh karena situasinya yang sangat menguntungkan dan merupakan wilayah imperium yang paling besar di Asia Kecil”. Efesus merupakan representasi “suatu pusat peradaban” abad pertama masehi. Efesus merupakan tempat pertemuan antara Timur dan Barat, sebagai jalur komunikasi utama antara Roma dan dunia Timur.
Populasi Efesus pada abad pertama masehi merupakan percampuran antara orang-orang Anatoli, Yunani, Yahudi, Romawi dan bangsa lainnya.  Kota Efesus tidak saja menjadi pusat komersial. Ia juga dikelilingi oleh kuil-kuil penyembahan bagi dewi Artemis, yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia kuno. Komunitas keagamaan telah dibangun di Efesus ketika koloni Yunani tiba di Asia Kecil. Pengudusan dan penyembahan kepada dewi Artemis telah ada sebagai pusat di seluruh bukit di Efesus jauh sebelum kota Yunani dibangun. Sangat mungkin kuil-kuil Artemis dibangun pada abad ke-8 sM, dengan struktur primitif seperti altar dan mimbar berfungsi sebagai pusat penyembahan. Penyembahan terhadap Artemis ditandai sebagai sumber gengsi dan pendapatan yang paling besar bagi Efesus, dan merupakan salah satu sumber pendapatan dan kekayaan di Efesus yang paling besar.
Efesus juga merupakan pusat perdagangan yang memungkinkan masuknya agama-agama lain di kota itu. Berbeda dengan agama monotheis seperti Yahudi, masuk juga agama-agama politheis. Pada masa rasul Paulus, hanya ada satu kuil yang dikhususkan untuk penyembahan terhadap Roma dan kaisar di Efesus, kemudian ditambah lagi dua kuil. Kota ini kemudian mendapat julukan sebagai “penjaga kuil” dari kultus kerajaan Romawi. Ibukota-ibukota propinsi juga menjadi terkenal sebagai pusat praktek hal-hal magis dan takhyul-takhyul. Kis. 19:13-14 memberikan keterangan tentang orang-orang Yahudi yang berkeliling mengusir roh-roh jahat di Efesus. Banyak dari mereka yang melakukan praktik magis di Efesus yang menjadi percaya dan menjadi Kristen karena pelayanan Paulus dan membakar buku-buku magis mereka sebagai tanda pertobatan mereka (Kis. 19:19).
Efesus merupakan kota paling penting yang dikunjungi Paulus setelah Roma, karena kota ini merupakan titik pusat sebagai kota metropolis, di mana Paulus dapat menyebarkan ajarannya, khususnya kota-kota dalam Asia Kecil. Karakteristik kekuatan dan kesediaan untuk menerima dan efek mengubah dari kota Efesus ini membuatnya menjadi tempat yang ideal untuk memperkenalkan dan membangun iman Kristen. Paulus sendiri mengunjungi Efesus pada perjalanan misinya yang kedua (Kis. 18:19-21). Pada perjalanannya yang ketiga, Paulus tinggal di Efesus selama tiga tahun dan berbicara tentang Kerajaan Allah (Kis. 19:1-41). Sebagai hasil dari usaha misinya, “semua yang tinggal di Asia mendengar Firman Tuhan, baik orang Yahudi maupun orang Yunani (Kis. 19:10).” Paulus kemudian meninggalkan Efesus dan meneruskan perjalanan ke Makedonia dan Yunani.
E. F. Scott  berpendapat bahwa surat 1 Timotius bertujuan untuk mengingatkan komunitas penerima surat ini akan pentingnya menjaga ajaran gereja yang sehat dan benar, dan menghindar dari ajaran dan praktek gnostik sesat di dalam gereja. Lebih lanjut, surat-surat pastoral bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan perkembangan struktur organisasi gereja secara kelembagaan.
Sesuai dengan ulasan mengenai penulis surat 1 Timotius di atas maka, dapat penulis simpulkan bahwa surat 1 Timotius ini ditulis oleh sesorang pengarang yang tak dikenal (anonim), yang meyakini dirinya sebagai bagian dari pewaris tradisi Paulus untuk melegitimasi pikiran yang terkandung dalam tulisan tersebut agar dapat diterima.
Begitu pula dengan penerima surat 1 Timotius ini ditujukan bukan kepada Timotius historis melainkan kepada pembaca dalam konteks kekristenan yang mula-mula.







BAB III
TAFSIRAN 1 TIMOTIUS 3 : 1 – 7

III.1 Teks Asli 1 Timotius 3 : 1 - 7



III.2 Terjemahan teks 1 Timotius 3 : 1 - 7
1.    faithfull to say to exist someone oversight to stretch one's self out good work to desire.
seseorang pengawas yang setia/eksis mengatakan untuk meregangkan keinginan diri sendiri untuk keluar pekerjaan yang baik
2.    to lack then oversight unblamable to be exist as far as a wife of a husband to be sober of a sound mind decorous kind of strangers to teach.
Harus pengawas tanpa cela untuk eksis sejauh sebagai istri seorang suami untuk menjadi sadar dari jenis pikiran yang sehat sopan orang asing untuk mengajar.
3.    not drunken not a violent person but a fair, not disposed to fight not fond of money.
tidak mabuk, bukan orang kekerasan tetapi adil, tidak dibuang untuk melawan, tidak menyukai uang.
4.    specially assigned a household, rightly to set before a child to hold upon obedience with all worship.
khusus ditugaskan rumah tangga, mengatur anak dengan benar sebelum untuk berpegang pada ketaatan dengan semua ibadah.
5.    to exist also someone proper a house to set before no him to know how the church of god and later.
eksis juga seseorang rumah yang tepat untuk mengatur sebelum ada dia tahu bagaimana gereja Tuhan dan kemudian.
6.    not newly or recently planted that not, not puffed up to a sentence he to be involved in devil.
tidak baru atau baru ditanam yang tidak, tidak menjadi sombong dengan hukuman dia untuk terlibat dalam setan.
7.    he on the other hand also and evidence good possess a person away person without that not into reproach to be involved in and device of devil.
ia di sisi lain juga dan bukti yang baik memiliki seseorang pergi orang tanpa itu tidak menjadi cela bagi terlibat dalam perangkat dan setan.





III.3 Tafsir Sosial Terhadap Teks 1 Timotius 3 : 1 – 7
Berdasarkan terjemahan teks pada bagian sebelumnya maka penulis pada bagian ini melakukan tafsir sosial  yang mana penulis mulai dengan menafsir kata penting dari teks dimaksud supaya dari kata tersebut dapat diketahui konteks sosial teks, genre, situasi politik, relasi sosial.  Kata yang penting pada teks adalah penilik., yang kemudian diparalelkan dengan kata penatua. Searah dengan itu penulis melakukan tafsir sosial terhadap kepemimpinan dan kepemimpinan Kristen.
Kata “Penilik” telah lama dipakai sejak masa Perjanjian Lama yang dalam pemakaian istilahnya serupa. Pada masa-masa awal pelayanan para rasul, pelayanan difokuskan di Yerusalem untuk membentuk komunitas baru, yang kemudian disebut ekklesia (jemaat). Jemaat ini terdiri dari orang-orang Yahudi yang mengikut Yesus dan juga terdapat beberapa orang non-Yahudi yang menjadi percaya. Mereka mengadakan persekutuan-persekutuan yang bersifat persaudaraan, sehingga mereka saling menyapa “adelfos” (Saudara).
Pada perkembangan berikutnya, jumlah jemaat yang bergabung semakin banyak dan terpusat di Yerusalem. Ketika jumlah jemaat semakin banyak, mulai bermunculan masalah-masalah yang tidak bisa ditangani sendiri oleh para rasul, misalnya “pelayanan meja” (Kisah Para Rasul 6:1).

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka ditunjuklah orang-orang khusus, yang mewakili para rasul. Uniknya, dalam penunjukan tersebut, murid-murid tidak mengikuti cara Yesus yang memilih langsung berdasarkan otoritas-Nya, melainkan mereka mempersilahkan jemaat untuk memilih dari antara mereka. Para rasul hanya menetapkan jumlah dan syarat-syarat (Kisah Para Rasul 6:3-5). Cara pemilihan semacam ini mengikuti tradisi pemilihan tua-tua dan hakim-hakim dalam Perjanjian Lama. Tetapi, para wakil yang dipilih dalam Kisah Para Rasul 6 memiliki fungsi sebagai wakil para rasul, yang berbeda dengan fungsi tua-tua dan hakim-hakim di Israel.
Selain memilih wakil-wakil mereka, para rasul juga mengadopsi bentuk pemerintahan Yahudi, misalnya dengan adanya penunjukan para presbuteros (presbiter, tua-tua jemaat atau penatua). Kata presbuteros sudah digunakan sejak lama dalam teks Septuaginta (LXX) untuk menerjemahkan kata zaqen (misalnya dalam Keluaran 3:16).
Para tua-tua jemaat merupakan pelayan-pelayan yang ditunjuk untuk membantu para rasul mengawasi jemaat dan mengambil keputusan. Mereka juga ditunjuk untuk mengelola jemaat-jemaat lokal, misalnya jemaat di Yudea (lihat Kisah Para Rasul 11:29, 30).
Di Yerusalem, tidak ada penjelasan bagaimana tua-tua jemaat itu dipilih dan ditetapkan. Jika para rasul mengikuti pola tua-tua Israel, maka kemungkinan mereka adalah orang-orang yang berwibawa di antara jemaat, yang dipilih langsung oleh jemaat dan ditahbiskan oleh para rasul. Di luar Yerusalem, tua-tua jemaat ditetapkan langsung oleh para rasul (Kisah Para Rasul 14:23), kemungkinan dipilih juga dari antara orang-orang yang dihormati dari jemaat-jemaat setempat, tetapi tidak jelas siapa yang memilih mereka, apa rasul-rasul sendiri ataukah jemaat setempat.
Oleh Paulus, para tua-tua jemaat itu disebut episkopos (penilik jemaat, uskup) (Kisah Para Rasul 20:17-28; Titus 1:5-7). Jadi, pada awalnya, tidak ada perbedaan antara presbuteros (tua-tua) dan episkopos (penilik). Presbuteros merujuk pada jabatan, sedangkan episkopos merujuk pada fungsi mereka.
Sebutan episkopos (penilik) diadopsi oleh Paulus atau gereja perdana dari istilah Yunani. Dalam masyarakat Yunani, episkopos (penilik) adalah orang yang ditugaskan untuk menjalankan fungsi pengawasan. Jabatan ini tidak begitu dikenal di kalangan Yahudi. Dalam LXX, kata episkopos muncul dalam kaitan dengan tugas keagamaan dalam Bilangan 4:16, menerjemahkan kata Ibrani: pequdda (penanggung jawab), bukan sebuah jabatan khusus.
Istilah episkopos (penilik) kemudian berkembang di kalangan Kristen-Yunani, karena istilah ini lebih akrab di kalangan orang-orang Hellenis. Menurut J.L. Abineno, jabatan episkopos (penilik) sangat cepat berkembang sesuai dengan perkembangan jemaat-jemaat yang berada dalam dunia Hellenis. Sementara itu, jabatan presbuteros (tua-tua) hanya digunakan dalam jemaat-jemaat Kristen-Yahudi.

    Kata “penilik” jemaat (Yunani : episkopos), menunjuk pada seorang yang mempunyai kewajiban pastoral; gembala.  Dalam jemaah-jemaah Kristen, penilik ialah peranan kepemimpinan atau pengawasan, namun peranan itu dihubungkan baik dengan diaken dan penatua (tua-tua) maupun dengan “uskup/penilik” tanpa banyak perbedaan dan tanpa batas wewenang yang jelas. Menurut Surat-surat Pastoral (1 Timotius, 2 Timotius dan Titus), ada banyak diaken, namun hanya ada seorang penilik saja. Dalam komunitas Qumran disebut seorang penilik saja. Biarpun tidak memiliki kepenuhan kekuasaan, penilik memiliki karunia memerintah, sehingga sebagai penjaga ia harus menggembalakan kawanan ilahi sambil menjaga persatuannya dan pemberitaan Kabar Baik. Istilah ‘penilik’ tidak bermakna sama seperti istilah ‘uskup’ dalam bahasa modern.
Para penulis Perjanjian Baru menggunakan kata pastor atau gembala sebagai sinonim untuk jabatan gereja penatua (presbuteros) atau penilik jemaat atau uskup (episkopos). Misalnya, dalam Kisah 20:17, Rasul Paulus mengimbau para penatua gereja di Efesus untuk menyampaikan pesan terakhir kepada mereka.                                            Kata pastor berasal dari Alkitab. Dalam Kitab Suci Ibrani (atau Perjanjian Lama), digunakan kata רעה (ra'ah) dari bahasa Ibrani. Kata ini digunakan 173 kali untuk menggambarkan tindakan memberi makan kepada domba-domba seperti dalam Kitab Kejadian 29:7 dan juga sehubungan dengan manusia seperti dalam Yeremia 3:15, "Aku akan mengangkat bagimu gembala-gembala yang sesuai dengan hati-Ku; mereka akan menggembalakan kamu dengan pengetahuan dan pengertian." (LAI).
Dalam Perjanjian Baru, kata dalam bahasa Yunani, ποιμην (poimēn) digunakan dan biasanya diterjemahkan sebagai gembala. Kata ini digunakan 18 kali dalam Perjanjian Baru. Misalnya, Surat Efesus 4:11, "Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar" (LAI). Yesus juga menyebut dirinya sebagai "Gembala yang Baik" dalam Yohanes 10:11.
Dalam prosesnya, dalam Kisah 20:28, ia mengatakan kepada mereka bahwa Roh Kudus telah membuat mereka penilik, dan bahwa tugas mereka adalah menggembalakan gereja mereka. Petrus menggunakan bahasa yang sama dalam 1 Petrus 5:1-2, dan mengatakan bahwa para penatua di antara para pembacanya bahwa mereka pun harus menggembalakan kawanan domba yang dipercayakan kepada mereka, dan bertindak sebagai penilik jemaat.
Paulus juga menyebutkan daftar persyaratan dari orang-orang yang melayani jabatan ini. Dalam 1 Timotius 3:1-7, Paulus menyebutkan daftar persyaratan dari mereka yang melayani sebagai bishop (penilik jemaat). Dalam Titus 1:5-9, diberikan pula sebuah daftar yang sangat mirip, kali ini untuk para penatua, yang juga dirujuk pada 1:7 sebagai penilik jemaat.

Pada zaman para rasul, segala persoalan gereja selalu diselesaikan dengan mengacu pada keputusan sidang para rasul yang terpusat di Yerusalem. Namun, seiring perkembangan gereja, banyak persoalan mulai diselesaikan sendiri oleh gereja-gereja lokal, khususnya gereja-gereja di wilayah Asia Kecil, dengan meminta nasihat kepada para perintis atau tokoh panutan mereka, seperti Paulus, Petrus, Apolos, Barnabas dan Silas.
Persoalan baru dihadapi gereja tatkala para rasul dan para tokoh perintis tersebut tiada. Sistim pemerintahan yang diwariskan kepada mereka adalah sistim pemerintahan bersama yang dipimpin oleh para presbuteros. Masing-masing gereja lokal juga mengelola gerejanya sendiri-sendiri. Ikatan antara satu gereja dengan gereja yang lain cenderung bersifat ikatan historis dengan tokoh-tokoh perintis mereka. Inilah yang dihadapi gereja pada abad ke-2.
Akibat adanya tekanan pemerintah Romawi serta ancaman perpecahan gereja, pada abad ke-2, gereja-gereja mulai dipimpin oleh satu pemimpin yang disebut episkopos (penilik). Dalam surat Ignatius kepada jemaat di Magnesia, Ignatius memberikan pengajaran tentang episkopos (penilik/uskup/bishop), presbuteros (tua-tua/presbiter) dan diakonos (pelayan/diaken).
Pada periode gereja mula-mula atau periode setelah para rasul, jabatan presbuteros dan episkopos yang tadinya sama, sudah dipisahkan dengan tegas, dimana episkopos memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding presbuteros. Setiap gereja lokal dipimpin oleh seorang episkopos. Episkopos memimpin sidang presbuteros.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Kristen menjadi agama resmi Kerajaan Romawi, terdapat juga episkopos-episkopos lain yang dihormati, yakni episkopos di Aleksandria dan Roma. Episkopos di kedua kota tersebut dihormati karena kedudukan penting dua kota tersebut. Aleksandria menjadi pusat kerajaan Romawi dan pengembangan kebudayaan Greko-Hellenis (percampuran antara kebudayaan Yunani dan Romawi) di Timur, sedangkan Roma merupakan ibu kota Romawi. Berdasarkan titah kaisar Romawi, maka episkopos Roma menjadi episkopos tertinggi.
Dengan demikian, hirarki pemerintahan gereja menjadi jelas ketika Kristen menjadi agama resmi Romawi. Untuk kepentingan politik, yakni kestabilan kerajaan, maka kaisar menunjuk satu episkopos sebagai pemimpin tertinggi gereja.    “Episkopos” atau Penilik Jemaat, yang dimaksudkan adalah Penatua.
    Kata Penatua berasal dari bahasa Gerika “Presbuteros” yang artinya yang lebih tua atau dewan tua-tua (dewan tertinggi agama Yahudi atau pemimpin jemaat). Presbuteros adalah bentuk komparatif dari kata sifat presby yang berarti tua.
    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penatua adalah dewan anggota pengurus gereja. Jadi penatua adalah seseorang yang memegang jabatan dalam organisasi gereja.

    Dengan ungkapan kata penatua, pada mulanya dipergunakan untuk menyebutkan para kepala suku atau marga. Kata penatua mengandung arti akan kedudukan pemegangnya selaku penguasa, pengadilan dan pimpinan dengan perang (Keluaran 18:13-26). Setelah Palestina dikuasai, dan waktu kehidupan bersama bangsa Israel lebih ditentukan oleh tempat tinggal mereka yang tetap, maka penatua berubah arti menjadi semacam golongan ningrat kota dengan kekuasaan pemerintahan dan peradilan (Ulangan 19:12; Yosua 9:11; Hakim-hakim 8:14; 1 Raja-raja 21:8). Meskipun pada zaman para raja kekuasaan itu berkurang namun penatua tetap merupakan kekuasaan yang harus dihormati (1 Raja-raja 20:7-9). Setelah pembuangan para penatua di dalam jemaat bersama pemimpin lainnya (Imam) menjadi penguasa setempat (Ezra 10:8-14). Kemudian mereka diangkat ke dalam Mahkamah Agama bersama Imam dan para Ahli Taurat (Matius 27:41; Markus 11:27; Lukas 22:66).
    Dalam kalangan para murid, penatua adalah pemimpin jemaat lokal (Antiokhia, Kisah Para Rasul 11:30; Efesus, Kisah Para Rasul 20:17)
    Pada zaman Perjanjian Lama kebanyakkan kekuasaan diberikan kepada orang-orang berdasarkan usia tua atau pengalaman, yang dianggap layak untuk memerintah. Maka tidak mengherankan bahwa pemimpin pada zaman dahulu memakai gelar yang berasal dari akar kata “yang berarti usia tua” contoh bahasa Ibrani Zagen.

    Dalam Pentateukh disinggung adanya tua-tua orang Mesir (Kejadian 50:7), sedangkan pada Keluaran 3:16, bangsa Israel mempunyai tua-tua sejak di Mesir dan Musa diperintahkan untuk bekerja sama dengan mereka dalam upaya untuk memperoleh kebebasan. Keluaran 24:1, menceritakan bahwa jumlah tua-tua ini ada 70 orang dan tua-tua ini dicurahkan Roh Tuhan atas mereka dengan maksud agar tua-tua ini bersama-sama dengan Musa memerintah atas bangsa Israel (Bilangan 11:25).
        Dengan memperhatikan penjelasan sebelumnya maka menurut penulis baik sebutan penilik ataupun penatua tetap menjalankan fungsi pemimpin. Dikatakan demikian sebab pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Itu berarti dalam posisi dan fungsi pemimpin dia juga mendapatkan pengakuan serta dukungan dari kumpulan orang-orang yang dipimpin dan mampu menggerakkan mereka  ke arah pencapaian tujuan.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka dapat dikatakan jika penilik atau penatua dalam posisi pemimpin menjalankan fungsi kepemimpinan maka di dalamnya  terdapat unsur-unsur:
-    Kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok,
-    Kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau orang lain,
-    Untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
Fungsi pemimpin dilaksanakan oleh penilik atau penatua ini dengan memperhatikan konteks sosial masyarakat Kristen pada waktu itu bahwa sudah terorganisir pada gereja yang  mulai melembaga.
Betapa pentingnya fungsi pemimpin diberlakukan dalam praktek bergereja saat Surat 1 Timotius dilamatkan karena pada satu sisi gereja sementara berada dalam pertumbuhan, semula dari kumpulan orang-orang yang percaya Kristus melalui Para Pemberita Injil kemudian mengalami perkembangan menjadi organisasi. Itu berarti sebagai organisasi keagamaan, gereja mempunyai tanggung-jawab mengaktualisasikan fungsinya di dalam dunia. Gereja berada dalam normalisasi norma pergaulannya dengan norma Yudaisme dan Kekaisaran Romawi.
Kesadaran akan konteks yang dimasuki oleh gereja yang tidak sebatas penantian Parousia dan Kehancuran Bait Allah, mendorong gereja untuk terus mengembangkan institusinya di mana fungsi gereja dapat menjadi gereja di dalam dunia. Dalam hubungan itu maka dari segi oragisasi gereja menetapkan struktur organisasi, menerapkan dan menjalankan fungsi-fungsi manajemen organisasi terhadap pelayan gereja, pegawai gereja dan warga gereja.
Pemimpin pada komunitas keagamaan dalam hal ini komunitas Kristen memiliki kedudukan artinya pemimpin memiliki tempat atau posisi dalam kelompok tersebut. Terhadap kedudukan pemimpin yang demikian dapat dikategorikan pada achieved – status . Achieved – status  adalah kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran.
Penilik/Penatua memiliki kedudukan di tengah komunitas Kristen karena dalam proses hidup kedudukan itu bukan secara genetika, tetapi usaha-usaha mempolakan gaya hidup yang baik di tengah komunitas. Terhadap usaha-usaha mempolakan gaya hidup tersebut penilik/penatua mempunyai peranan yang menentukan apa yang diperbuatnya bagi banyak orang. Dengan kata lain melalui peranan penilik/penatua dapat mengatur perilaku orang lain.
Searah dengan uraian sebelumnya maka peranan mencakup tiga hal yaitu:
1.    Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat    seseorang dalam masyarakat.
2.    Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3.    Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat .
Dengan demikian dalam praktek bergereja pemimpin mempunyai wewenang. Artinya suatu hak yang telah ditetapkan dalam arti tata tertib sosial komunitas keagamaannya untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah penting dalam menyelesaikan masalah-masalah komunitas.
Berdasarkan penjelasan penulis sebelumnya maka hal mempunyai penilik jemaat/penatua yang berkualified dalam arti yang mampu dijadikan teladan dan dapat mengarahkan, mengembangkan secara baik persekutuan hidup jemaat tetapi juga organisasi gereja menjadi penting. Oleh sebab itu betapa strategis mempunyai penilik jemaat yang memenuhi kriteria yang baik untuk memimpin jemaat, untuk mengarahkan perilaku warga gereja dan untuk mencapai tujuan gereja berada dalam dunia.           
Mengenai kriteria seorang penatua Perjanjian Baru menyatakan dengan jelas bahwa hanya orang-orang yang memiliki karakter hidup yang sempurna dapat menjadi penatua, sebab orang-orang yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Allah untuk menjadi penatua. Persyaratan yang harus dipenuhi merupakan suatu bentuk perintah Allah yang Alkitabiah. Persyaratan ini merupakan kebutuhan mutlak bagi mereka yang mau melayani di ladang pelayanan gereja.
Perjanjian Baru banyak memberi perintah berkenan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penatua gereja. Dalam kepenatuaannya sesungguhnya kualitas rohani seseorang harus diuji terlebih dahulu secara seksama sebelum dia diperkenankan untuk melayani sebagai pelayan yang melayani di rumah Allah.
Walaupun pernyataan-pernyataan dalam Alkitab mengenai kriteria penatua sudah jelas, namun orang Kristen seringkali mengambil salah satu dari dua sikap ekstrim terhadap kriteria penatua antara lain :
•    Tidak memperdulikan sama sekali terhadap kriteria penatua yang dinyatakan dalam Alkitab. Dengan demikian, membelokan orang yang tidak memenuhi syarat untuk menempati kedudukan yang sangat penting dalam jemaat. Sering terjadi orang-orang yang mempunyai uang maupun pengaruh duniawi atau memiliki rupa yang tampan dan kepandaian berbicara dipilih menjadi dewan pengurus gereja tanpa memperhatikan kualitas rohani mereka. Praktek semacam ini akan memperlemah dan menurunkan kehidupan rohani jemaat.
•    Menambah kualifikasi-kualifikasi atau batas-batas yang dituntut oleh Allah. Dengan demikian, mengeluarkan orang-orang yang memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin dalam gereja. Gereja begitu terpikat oleh kriteria yang telah ditambahkan pada kriteria dalam Alkitab. Akibatnya menolak seseorang yang sesungguhnya telah memenuhi kriteria untuk menjadi penatua dalam jemaat. Sebaliknya seseorang benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi penatua apabila dia sesuai dengan kriteria yang dibuat sendiri oleh gereja.
Tuntutan untuk menjadi penilik/penatua yang memimpin warga gereja  secara baik dalam arti konkrit yaitu  pola berlaku adil, saleh, dapat menguasai diri, suka damai, dan sabar menghadapi orang lain. Mereka juga harus menjadi suami yang setia, ayah yang baik, dan orang-orang yang sungguh melakukan Firman Tuhan. Dengan kata lain, kematangan kepercayaan mereka terhadap Kristus dalam tataran praksis menjadi cermin karakter penilik/penatua jemaat yang baik.


1 Timotius 3 : 1 – 7
Tak bercacat
Suami dari satu isteri
Dapat menahan diri
Bijaksana
Sopan
Suka memberi tumpangan

Cakap mengajar orang    Bukan peminum
Bukan pemarah
Pendamai
Bukan hamba uang
Kepala keluarga yang baik
Disegani dan dihormati oleh anak-anaknya
Punya nama baik

Pada sisi lain realitas konteks gereja saat itu berhadapan dengan pengaruh ajaran Gnostik dengan unsur-unsur Yahudi sangat kuat. Indikasi pengaruh ajaran tersebut dalam kehidupan jemaat dapat disebutkan di sini adalah ajaran tentang dongeng, silsilah, amoralitas, memberikan pengajaran tentang ajaran mereka dengan tujuan untuk memperoleh uang dan penekanan Hukum Taurat. Bahkan penyerbuan rumah-rumah pribadi oleh para bidat ini akhirnya menjerat perempuan-perempuan Kristen yang lemah dan bodoh kepada nafsu-nafsu jahat.
Terhadap kenyataan konteks yang demikian syarat seperti tak bercacat dalam arti sikap hidupnya dalam jemaat tidak boleh memberi kesempatan kepada orang untuk memfitnahnya, bahwa dirinya tidak layak menjadi pemimpin jemaat. Seorang penilik jemaat harus hidup kudus, karena penilik adalah pengatur rumah Allah. Dia dipercayakan untuk mengatur/mengurus rumah tangga Allah, milik Allah, harta benda Allah dan kekayaan Allah. Dia bertindak atas nama kepentingan Allah.                                         Selanjutnya suami dari satu istri artinya di tengah konteks yang tidak menghargai lembaga perkawinan betapa menjadi kebutuhan penting seorang penilik/penatua menjadi suami yang setia agar dia mampu mengepalai keluarganya sendiri, mampu untuk mengawasi atau mengendalikan anak-anaknya sehingga disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Penekanan pada kehidupan rumah tangga penatua ini menjelaskan sifat umum dari sifat gereja (keluarga Allah) dan menyatakan sesuatu tentang kedudukan maupun peranan (pemimpin atau gembala, peran melayani umat Allah) yang dimiliki penatua dalam perkumpulan orang-orang percaya.
Mengurus jemaat lokal lebih menyerupai mengurus keluarga daripada mengurus suatu bisnis atau negara. Karena itu kemampuan seseorang untuk mengurus jemaat Allah secara langsung berhubungan dengan kemampuannya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Seseorang bisa menjadi usahawan yang berhasil, manajer kantor yang pandai, atau pimpinan militer yang top, tetapi dia bisa menjadi seorang penatua yang jelek dalam jemaat karena dia tidak mampu untuk mengatur keluarganya. Kemampuan seseorang untuk memimpin keluarganya merupakan ujian yang membuktikan apakah dirinya memenuhi syarat atau tidak untuk menjadi seorang penatua.
Kemampuan seorang penatua untuk mengendalikan anak-anaknya adalah suatu hal yang menyatakan kelemahan ataupun kekuatannya. Alkitab menyatakan dia harus menjadi seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya (1 Timotius 3:4). Mendapat penghormatan dari anak-anaknya harus dengan sikap yang benar, bukan karena kekejaman yang menghancurkan. Penghormatan tidak boleh diperoleh karena hukuman yang keras atau penganiayaan yang tidak adil sebagai akibat dari kemarahan. Penatua harus mengendalikan anak-anaknya dengan cara sopan dan terhormat.  Hubungan yang dimiliki seorang penatua dengan anak-anaknya secara langsung menyatakan hubungannya dengan jemaat. Kalau penatua itu berlaku terlalu kasar terhadap anak-anaknya, tidak sabar dan tidak bijaksana, maka begitu juga dia memberikan tanggapan kepada jemaat jika seseorang ingin mengetahui seperti apakah seorang penatua (Pemimpin Jemaat), amatilah bagaimana ia mengurus anak-anaknya.
Selain hubungan penatua dengan anak-anak, penatua mempunyai hubungan dengan istrinya. Dalam kehidupan masyarakat Kristen penuh dengan perzinahan dan pernikahan yang hancur, itu bukan kehendak Allah. Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa para penatua atau dia haruslah menjadi suami dari satu istri (1 Timotius 3:2). Ayat ini menyatakan kesetiaan seseorang penatua terhadap istrinya. Itu berarti bahwa seorang penatua harus memiliki hubungan yang eksklusif atau sangat khusus dan intim dengan istrinya. Seorang penatua harus setia kepada istrinya dalam pernikahan. Alkitab menjelaskan bahwa seorang pria dan wanita menjadi “satu daging” (Kejadian 2 :24). Yesus Kristus menyatakan; “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).

Pernikahan merupakan ujian yang paling dasar terhadap karakter maupun kepercayaan seseorang. Karena itu pernikahan Kristen merupakan salah satu kesaksian yang paling kuat tentang kuasa Injil yang mempersatukan dua insan yang berbeda, tetapi sebaliknya pernikahan yang hancur di antara orang Kristen (Penatua) merupakan potensi yang paling besar untuk mencemarkan jemaat Kristen maupun nama baik penatua itu sendiri. Untuk itu perlu diperhatikan pernikahan bagi seorang penatua. Sebab kalau ia tidak mampu untuk mengepalai keluarganya, bagaimana dengan umat Allah ? (1 Timotius 3:5).
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka hal ini berhubungan dengan aktualisasi fungsi gereja dalam dunia. Sebagai pemimpin Kristen yang memimpin suatu masyarakat Kristen pada zaman Surat I Timotius dialamatkan dapat dipahami bahwa masyarakat Kristen tersebut memperlihatkan kesepakatan mereka untuk hidup dalam pemaknaan nilai-nilai yang telah diteladankan Kristus sebelumnya, sehingga dengan membatinkan dan berusaha mempolakan dalam kehidupan akan mengeliminir perbedaan-perbedaan pendapat dan perbedaan kepentingan dalam kehidupan masyarakat Kristen tersebut.
    Menurut penulis menjadi penilik atau penatua tidak secara kebetulan menjadi pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinan. Dikatakan demikian sebab dalam posisi sebagai pemimpin harus memiliki kompetensi sebagai pemimpin dan memenuhi kriteria atau persyaratan yang dimiliki.

Persyaratan paling utama bagi seorang calon pemimpin ialah dapat memimpin orang lain ke arah pencapaian tujuan organisasi, dan dapat menjalin komunikasi antarmanusia, karena organisasi itu selalu bergerak atas dasar interaksi antarmanusia.
         Dalam kapasitas sebagai pemimpin mereka yang mempunyai kualifikasi antara lain sebagai berikut:
1.    Kemauan untuk Memikul Tanggung Jawab
       Bila seroang pribadi menerima tugas kepemimpinan, harus berani memikul tanggung  jawab bagi setiap tingkah lakunya, sehubungan dengan tugas-tugas dan peranan yang harus dilakukan. Menerima tanggung jawab kepemimpinan mengandung resiko menerima sanksi-sanksi tertentu bila ia tidak mampu mencapai hasil yang diharapkan. Kebanyakan pemimpin merasakan, bahwa peranan sebagai pemimpin itu mengandung banyak tuntutan. Terutama penggunaan waktu, usaha, dan pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif. Dan tugas-tugas ini menuntut energi yang banyak sekali.
Karena peranan kepemimpinan itu harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang cukup berat, maka diharapkan agar orang-orang yang diserahi jabatan pemimpin itu benar-benar :
c)    Menghendaki peranannya dan
d)    Sanggup menerima tanggung jawab.
Oleh kekuasaan dan kewibawaannya, dia mendapatkan status, posisi, serta penghargaan tertentu (motivasi pribadi). Sedang sasaran ialah dia mampu membawa pengikutnya pada pencapaian tujuan organisasi.   
2.    Memiliki Kemampuan untuk Menjadi Perseptif
Persepsi adalah kemampuan untuk melihat dan menanggapi realitas nyata. Dalam hal ini pemimpin perlu mempunyai daya persepsi - disertai kepekaan yang tinggi – terhadap semua situasi organisasi yang dibawahinya yaitu mengamati segi-segi kekuatan dan kelemahannya.
Pemimpin harus juga mampu mengadakan introspeksi, melihat ke dalam diri sendiri, agar ia mengenali segi-segi kemampuan dan kelemahan sendiri, dikaitkan dengan beratnya tugas-tugas dan besarnya tanggung jawab harus dipikulnya.
3.    Kemampuan untuk Menanggapi secara Objektif
Objektifitas merupakan kemampuan untuk melihat masalah-masalah secara rasional, impersonal (zakelijk) tanpa prasangka. Objektifitas adalah kelanjutan dari perspektifitas dengan mengabaikan sebanyak mungkin faktor-faktor pribadi dan emosional yang bisa mengakibatkan kaburnya kenyataan. Objektifitas juga merupakan unsur penting dari pengambilan keputusan yang bijaksana, dan melakukan satu seri tindakan yang konsisten.
4.    Kemampuan untuk Menetapkan Prioritas Secara Tepat
Seorang pemimpin itu harus benar-benar mahir memilih mana bagian yang penting dan harus didahulukan, dan mana yang kurang penting sehingga bisa ditunda pelaksanaannya. Jadi, mampu mengambek-paramartakan pemecahan masalah. Juga sanggup memilih keputusan secara bijaksana dari sekian banyak alternatif dengan tepat.
Pemimpin yang efektif adalah orang yang mampu memilih “gabah” dari “antahnya”. Dia mampu mendahulukan perencanaan, persiapan, dan alat-alat yang akan digunakan oleh petugas-petugas bawahan yang ada di bawah kewenangannya, sebelum dia sendiri melaksanakan tugas-tugasnya.
5.    Kemampuan untuk Berkomunikasi
Kemampuan untuk memberikan informasi dengan cermat, tepat dan jelas juga kemampuan untuk menerima informasi dari luar dengan kepekaan tinggi, merupakan syarat mutlak bagi pemimpin yang efektif. Dia mampu menjabarkan “bahasa policy” ke dalam “bahasa operasional” yang jelas dan singkat. Maka segenap tanggung jawabnya akan menjadi lebih mudah sehubungan dengan tugas-tugas yang harus didistribusikan kepada bawahan atau pengikut-pengikutnya.
Arti penting dari komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak perilaku badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Selanjutnya orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain. Dengan adanya komunikasi, sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau individu dapat diketahui oleh kelompok yang lain atau individu lain .  
Spesialisasi kerja dalam bentuk unit-unit yang kecil-kecil membawa kita pada sistem hierarki kerja dengan segala kompleksitasnya. Maka untuk tugas-tugas koordinasi dan supervisi terhadap unit-unit tersebut, - agar bisa menjadi bagian-bagian yang terkuasai -, diperlukan keterampilan komunikasi yang tinggi. Sebab, komunikasi yang tidak baik antara pemimpin dan pengikut/anak buah, akan menimbulkan hal-hal seperti banyak prasangka, kecemasan, ketegangan batin, dan konflik-konflik baik yang tertutup dalam diri sendiri maupun yang terbuka dengan orang lain.
Komunikasi yang tidak lancar menimbulkan perasaan duka, terisolasi dan dipisahkan dari organisasi. Dan hal ini menyebabkan banyak kecemasan, ketegangan batin, kepekaan-lebih atau oversensitivitas, mudah berkonflik dengan orang di sekitarnya. Komunikasi yang kurang lancar juga menyebabkan banyak kesulitan dan kesalahpahaman, karena permasalahannya tidak dapat dipecahkan dan didiskusikan. Mereka jadi mudah pepat hati, berduka, dan depresif. Semua ini menyebabkan banyak frustasi di kalangan anak buah atau pengikut sekaligus peristiwa tersebut juga menambah beban psikologis pada pribadi pemimpin.
Sederhananya hendak disampaikan bahwa pemimpin yang memaknai kepemimpinan mempunyai sandaran kemasyarakatan atau social basic.  Hal ini karena kepemimpinan itu erat hubungannya dengan masyarakat yang dipimpin. Mengenal masyarakat, memahami kebutuhan masyarakat untuk mengarahkan masyarakat mencapai tujuan bersama menjadi urgent bagi pemimpin dalam kepemimpinan yang berlangsung.   
    Di dalam Alkitab kita menemukan nilai-nilai yang harus mendasari kepemimpinan Kristen. Para pemimpin adalah pelayan (Mrk. 10:43-44), gembala (Yoh. 21:17), orang yang memperlengkapi umat Allah (Ef. 4:12), orang yang mengasihi orang lain (II Kor. 2:8), pendisiplin (Gal. 6:1), guru (II Tim. 2:2), penilik jemaat (Tit. 1:7), pengoreksi, penegur, dan penasehat (II Tim. 4:2). Para pemimpin Kisten harus menghargai kebenaran (Yoh. 8:32), memperhatikan kebutuhan orang lain (Yoh. 21:16), menyembah (Flp. 3:3), mengasihi (Yoh. 13:34), dan menginjili (I Kor. 9:19).
Ada banyak nilai-nilai kepemimpinan yang dapat dikutip dalam Alkitab, di antaranya : Kebenaran (Kol. 3:9), kasih (Yoh. 13:34), penginjilan (I Kor. 9:19), pelayanan (II Kor. 9:12), Ibadah (Flp. 3:3), memperlengkapi (Ef. 4:11), pertumbuhan (Ef. 4:12), kesatuan (Ef. 4:13), kestabilan (Ef. 4:14-15), persiapan (Ef. 4:16), kekudusan (I Tes. 3:13), pengenalan akan Allah (II Tes. 2:14), pemberitaan Kristus (Kol. 1:28), doa (Kol. 4:2), pengorbanan (Roma 12:1).
Nilai-nilai yang disebutkan di atas dapat menggerakan kepemimpinan Kristen. Nilai-nilai ini secara mendalam mengarahkan dan memotivasi para pemimpin yang mengubahkan, serta mempengaruhi secara mendalam pikiran dan aksi serta memutuskan jalan bagi organisasi. Para pemimpin yang memegang nilai-nilai yang berpusatkan pada diri sendiri akan menghancurkan organisasi. Sekalipun di dalam organisasi Kristiani, nilai-nilai para pemimpin dapat saja menghasilkan kejahatan bukannya kebaikan. Para pemimpin Kristen yang mengubahkan harus menemukan nilai-nilai mereka di halaman-halaman Kitab Suci. Nilai-nilai dengan basic Kitab Suci menyediakan dasar bagi visi para pemimpin dan berguna bagi keefektifan pencapaian  tujuan bersama.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat dipahami dalam kepemimpinan Kristen yang berdasarkan nilai-nilai tersebut diatas secara fungsional akan menghadirkan keseimbangan dalam masyarakat Kristen yang dipimpin. Dikatakan demikian karena nilai-nilai tersebut dipahami dan adanya kesadaran kritis untuk mempolakan hidup sesuai nilai-nilai tersebut. Keterikatan pada nilai-nilai tersebut menjadi kontrol social dalam mendorong masyarakat Kristen alamat Surat 1 Timotius untuk menjaga keseimbangan hidup termasuk pemimpin yang menerapkan kepemimpinan.
                                       
   










BAB IV
IMPLIKASI

Penilik jemaat (Yunani : episkopos), menunjuk pada seorang yang mempunyai kewajiban pastoral; gembala.  Dalam jemaah-jemaah Kristen, penilik ialah peranan kepemimpinan atau pengawasan. Penilik Jemaat, yang dimaksudkan adalah Penatua. Dulu pengertian Penatua adalah seorang yang betul-betul telah lansia. Mereka dianggap telah banyak merasakan asam garam kehidupan ini, sehingga bisa mengidentifikasi suatu masalah dan mengambil keputusan dengan baik dan benar secara tepat. Jabatan Penatua ini diambil alih dari kebiasaan "tua-tua Israel", merekalah yang memimpin umat dan bermusyawarah dalam menghadapi masalah umat.
Seiring dengan perkembangan zaman, terkesan bahwa lansia sulit beradaptasi dan sering tertinggal perkembangan, bahkan daya ingatnya cenderung menurun (gejala Alzheimer).
 Dewasa ini terjadilah pergeseran paradigma jabatan Penatua, bukan lagi usia/lansia tetapi kematangan psikologis. Yang diutamakan dalam menghadapi perkembangan adalah yang lebih potensil, mengenal perkembangan, cara berfikir dan kemampuan mengatasi masalah.
Menjadi Penatua tidak harus orang-tua, tetapi bisa juga orang yang muda yang terpenting mempunyai kedewasaan iman, berpengalaman rohani yang baik, dan kemampuan dalam mengatasi masalah. Selain usia dan kemampuan, seorang Penatua adalah panutan bagi umat. Kehidupan spiritual dan kehidupan rumah tangganya pun harus baik dan tidak bercacat serta harus berpadanan dengan tuntutan Injil, ia mampu menggembalakan keluarganya dan dengan demikian akan mampu juga menggembalakan umat dengan wibawanya.
Setiap warga jemaat yang ingin mencalonkan diri menjadi Penatua di jemaatnya, hendaklah melakukan intropeksi diri. Penatua bukan kedudukan terhormat yang patut dibanggakan, tetapi adalah gembala umat, yang setia dan bertanggung jawab dalam menjalankan panggilannya. Agar umat sadar untuk hidup sesuai tuntutan imannya. Hidup seorang Penilik merupakan panutan bagi jemaat. Ingatlah bahwa Tuhan mengenal calon hamba-Nya, dan mereka yang telah disiapkan-Nya dalam kehidupan berjemaat, mereka juga yang akan dipilih-Nya sebagai pelayan-Nya melalui pemilihan oleh jemaat-Nya.
Keberadaan sebagai penatua adalah sebuah karunia dari Tuhan. Tuhan berkenan untuk mengikutsertakan manusia dalam pekerjaanNya untuk menyelamatkan manusia. Karena itu penerimaan kita terhadap panggilan Tuhan untuk menjadi muridNya dan ikut serta dalam pelayanan di jemaat harus disertai dengan ucapan syukur, sukacita tetapi juga dengan kerendahan hati serta pengharapan bahwa Tuhan memanggil kita menjadi pelayanNya bukan karena kita tidak berdosa dan sudah sempurna, melainkan karena Tuhan sendiri mau membentuk kita menjadi manusia yang berkenan kepadaNya dan menjadi berkat bagi sesama. Rasul Paulus berkata: “Karena itu saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”
Pemimpin harus jadi Teladan dan Contoh. Seorang pemimpin gereja wajib menjadi teladan atau contoh (Ibrani 13:7, I Timotius 1:16, 4:12, I Petrus 5:3). Banyak pemimpin adalah ahli – dan seharusnya demikian. Juga banyak yang pandai bicara – dan itu juga satu talenta yang baik. Namun, lebih penting bahwa ia dapat menjadi contoh dalam semua hal yang diajarkannya. Pemimpin dalam Alkitab adalah seorang yang berjalan di depan dan domba-domba mengikut dari belakang. Dalam perang modern dewasa ini, para jenderal memegang komando dari markas komando, menentukan strategi, sasaran serangan. Namun tidak lagi berada di medan tempur barisan depan. Dalam strategi Tuhan, pemimpin harus berada di barisan depan. Memberi komando dan diikuti anak buah. Ia menjadi sasaran terdepan dari musuh. Ingatlah di samping harus menjadi teladan dalam unsur-unsur Ilahi seperti iman dan kasih, dalam soal moral : kekudusan pernikahan. Tak kalah pentingnya soal karakter : tingkah laku, sopan-santun, tidak angkuh, dan lain sebagainya. Dalam hal integritas yakni moral kejujuran, pengabdian. Dan kredibilitas : dapat dipercaya, teguh dalam prinsip. Di samping semua itu, pemimpin juga disorot kehidupan pribadinya, perkawinannya, rumah tangganya, anak-anaknya, dan lain-lain. Sebagai pemimpin teladan, kita menjadi panutan yang transparan. Anggota melihat kita, memperhatikan kita dan mencontoh kita. Seorang pemimpin ialah pengatur (proistemi), yang berarti berdiri di hadapan memimpin, mengatur, mengarahkan dengan praktek.
Pemimpin Rohani harus memiliki stándar Moral dan Karakter. Harus hidup Kudus. Kalau kita membaca kualifikasi seorang penatua atau penilik jemaat dalam 1 Timotius 3:1-7dan Titus 1:5-9, bagian terbesar dari persyaratan pemimpin rohani adalah moral dan karakter. Kemurnian, kesalehan dan kekudusan adalah prinsip dasar dari para pemimpin rohani. Kehidupan nikah, pengelolaan keuangan, pengendalian temperamen, pembinaan rumah tangga, sifat perilaku, percakapan, dan lain sebagainya. menjadi unsur-unsur penting pembinaan moral dan karakter. Rasul Paulus mengingatkan para pemimpin : “jagalah dirimu” kemudian baru “jagalah seluruh kawanan” (Kisah 20:28). Itu sebabnya sering dikatakan bahwa pemimpin rohani harus berkarakter, harus memiliki integritas. Kebiasan-kebiasaan buruk acap kali kita kategorikan sebagai “kelemahan manusiawi” dan dianggap sah-sah saja. Padahal kemurnian moral dan karakter tidak boleh kita anggap hal lumrah sebab Kemurnian moral atau “bejana yang bersih” sangat menentukan karya pengurapan Roh Kudus. Di zaman sekarang, terasa sekali betapa sulitnya hidup kudus. Godaan uang, pergaulan, kehidupan enak, kedudukan, kehormatan, godaan film dan literatur, keterbukaan soal-soal seksual, membenarkan dusta, dan lain-lain, tidak luput menghadang para pemimpin rohani. Tetapi pegangan kita tidak boleh bergeming : “hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu”. (II Petrus 1:15).
Pemimpin yang dipanggil oleh Tuhan harus memiliki hidup kudus, dan jangan terkena pencemaran (Roma 12:1,2, I Korintus 6:19-20, I Petrus 2:6, 2 Korintus 6:12-16).
Kepemimpinan Rohani adalah Kehambaan, Pengabdian dan Pengorbanan. Pemimpin adalah Pelayan. Kepemimpinan gereja adalah pengabdian (I Petrus 5:1-3), dan bukan untuk cari uang dan jabatan. Godaan kedudukan adalah salah satu kejatuhan utama para hamba Tuhan. Kepemimpinan rohani bukanlah bergaya majikan, boss atau direktur perusahaan. Pemimpin wajib memiliki hati hamba dan sifat pelayan (Yohanes 13:4-17, Markus 9:35). Para pemimpin harus berjiwa pelayan. (Efesus 6:6-8). Pemimpin adalah PELAYAN. (Lukas 22:26), dan Yesus, pemimpin agung kita berfungsi sebagai pelayan (Lukas 22:27). Kepemimpinan gereja adalah pengorbanan. Model kepemimpinan kita adalah Yesus Kristus. Para pemimpin sendiri disebut : hamba Tuhan. Jadi, majikannya ialah Tuhan sendiri. Para pemimpin harus bergantung total kepada Tuhan, bukan kepada manusia, kekuatan uang, ekonomi, politik, atau situasi dan kondisi.
Pemimpin harus bekerja keras, rajin berdoa dan berprestasi baik. Para penatua yang baik dan bekerja keras patut dihormati (I Timotius 5:17). Mereka harus orang-orang yang rajin, tidak malas (Roma 12:8). Para pemimpin harus merupakan sosok yang rajin berdoa, rajin melayani, rajin mengajar Firman dan bekerja sekerasnya untuk pertumbuhan gereja dan penyebaran Injil. Bekerja keras berarti juga disiplin dan tidak cengeng. Pemimpin gereja harus berprestasi baik, barulah beroleh kedudukan yang baik (I Timotius 3:13).
Gereja memerlukan pemimpin-pemimpin. “Jikalau tidak ada pemimpin, jatuhlah bangsa” (Amsal 11:14). Gereja tidak akan bertumbuh mencapai kedewasaan, tanpa kepemimpinan (Efesus 4:11-16). Gereja yang tengah bertumbuh dan bergumul dalam dunia yang penuh goncangan dan krisis, memerlukan pimpinan yang solid, yang kekuatannya bertumpu pada asas-asas kepemimpinan yang Alkitabiah.





















BAB V
PENUTUP

V.1    Kesimpulan
1.    ‘Episkopos’ atau penilik, yaitu mereka yang memiliki fungsi yang sama dengan para penatua tetapi terutama lebih dikenal dalam jemaat-jemaat yang berlatar belakang non-Yahudi. Salah satu penilik jemaat dalam Perjanjian Baru yang masih muda tetapi sangat diandalkan oleh Paulus adalah Timotius.
    Tugas dan tanggung jawab Penatua berada dalam konteks hakekat jemaat sebagai Tubuh Kristus dan tri tugas panggilannya yaitu bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia), dan melayani (diakonia).
Rasul Paulus kadang menyebutkan bahwa memimpin jemaat adalah tugas para presbiter atau episkopos yang bertanggung jawab atas kepemimpinan dalam jemaat. Demikian juga halnya dengan tugas pemberitaan firman dan penggembalaan. Itu berarti bahwa penatua, mempunyai tugas tanggung jawab yang sama di dalam hal memimpin jemaat, memberitakan firman, mengajarkan pokok-pokok iman, dan pelayanan kasih dan keadilan di dalam jemaat.
2.    Menjadi Penatua tidak harus orang-tua, tetapi bisa juga orang yang muda yang terpenting mempunyai kedewasaan iman, berpengalaman rohani yang baik, dan kemampuan dalam mengatasi masalah. Selain usia dan kemampuan, seorang Penatua adalah panutan bagi umat. Kehidupan spiritual dan kehidupan rumah tangganya pun harus baik dan tidak bercacat serta harus berpadanan dengan tuntutan injil, ia mampu menggembalakan keluarganya dan dengan demikian akan mampu juga menggembalakan umat dengan wibawanya.
3.    Pemimpin harus jadi Teladan dan Contoh. Seorang pemimpin gereja wajib menjadi teladan atau contoh. Di samping harus menjadi teladan dalam unsur-unsur Ilahi seperti iman dan kasih, dalam soal moral : kekudusan pernikahan. Tak kalah pentingnya soal karakter : tingkah laku, sopan-santun, tidak angkuh, dan lain sebagainya. Dalam hal integritas yakni moral kejujuran, pengabdian. Dan kredibilitas : dapat dipercaya, teguh dalam prinsip.
4.    Pemimpin Kristen di bidang gerejadalam menjalankan kepemimpinan Kristen harus memiliki stándar Moral dan Karakter. Keberadaan sebagai penatua adalah sebuah karunia dari Tuhan. Tuhan berkenan untuk mengikutsertakan manusia dalam pekerjaanNya untuk menyelamatkan manusia. Karena itu penerimaan terhadap panggilan Tuhan untuk menjadi Pemimpin Kristen dan muridNya berada dalam keikutsertaan pelayanan di jemaat harus memiliki aspek kasih, keadilan, dengan ucapan syukur, sukacita tetapi juga dengan kerendahan hati serta pengharapan bahwa Tuhan memanggil kita menjadi pelayanNya bukan karena kita tidak berdosa dan sudah sempurna, melainkan karena Tuhan sendiri mau membentuk kita menjadi manusia yang berkenan kepadaNya dan menjadi berkat bagi sesama. Rasul Paulus berkata: “Karena itu saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”

V.2    S a r a n
1.    Sebagai orang-orang yang ingin menjadi pekerja di ladang Tuhan atau menjadi pelayan Tuhan, sudah semestinya menyadari akan jati diri sebagai pelayan yang sebenarnya.
2.    Sebagai seorang pelayan yang melayani dalam gereja, terlebih dahulu harus mengintrospeksi kehidupannya, baik pribadinya maupun keluarganya.
3.    Hendaknya sebagai seorang pelayan Tuhan, menunjukkan karakter atau sifat hidup yang baik sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan dalam kitab suci.
4.    Hal utama yang mesti dimiliki oleh seorang pelayan dalam tugas melayani ialah kasih, keadilan, syukur dan sukacita dalam melakukan tugas dan tanggung jawab kepemimpinan pelayanan Kristen, sehinggakelemahan dan kendala pelayanan, tidak dapat dengan mudah mengendorkan panggilan pelayanan kepemimpinan Kristenyang teremban. Berserah diri untuk senantiasa dibimbing dan dibaharui oleh Tuhan hendaknya juga menjadi agenda rutin dalam hidupnya.


DAFTAR PUSTAKA


1.    Buku
Alkitab Penuntun Hidup Berlimpah (The Full Life Study Bible), 2008, Gandum Mas, Malang.
Alkitab Terjemahan Baru, oleh Lembaga Alkitab Indonesia.
Barclay, Wiliam, 2001, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1 dan 2 Timotius, Titus dan Filemon, BPK. Gunung Mulia, Jakarta.
Bertens, K. 1993, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarya.
Dewey, Joanna, 2004, “I Timothy” The Women’s Bible Commentary, Carol Newsome, Sharon H. Ringe (eds), cetakan ke-10, Westminster Knox Press.
Drewes, B. F., Haubeck W., Siebenthal H., 2006, Kunci Bahasa Yunani Perjanajian Baru: Surat Roma hingga Kitab Wahyu, BPK. Gunung Mulia, Jakarta.
Dongoran, Dermawati, 1996, Kriteria Seorang Penatua Ditinjau dari Alkitab.
Greenberg J. & Baron RA., 1996. Behavior in Organizations: Understanding & Managing The Human Side of Work, Prentice Hall International Inc.
Grits Sharon H, Paul. Women Teachers and the Mother Goddes at Ephesus – A Study of 1 Timothy 2:9-15 in Light of Religious and Cultural Milieu of the First Century. Lanham, New York, London : University Press of America. 1991.
Gottwald, Norman, 1989, The Bible and Liberation, Orbis Books, New York.
Howard, Marshal I., 1976, The International Critical Commentary: The Pastoral Epistles, T&T Clarck, Edinburgh.
Jacobs, Tom, 1992, Paulus; Hidup, Karya Dan Teologinya, BPK. Gunung Mulia, Jakarta.
Kartono, Kartini, 2005, Pemimpin dan Kepemimpinan; Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu ?, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Marxen, Willi, 1996, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, BPK. Gunung Mulia, Jakarta.
Perrin, Norman, 1974, An Introduction to the New Testament, Harcourt Brace Jovanivich, New York.
Scott E. F., 1957, The Moffatt New Testament Commentary – The Pastoral Epistle, Hodder and Stoughton, London.
Scroggs, Robin, 1970, “The Earliest Hellenistic Christianty”, Religions in Antiquity, disunting oleh Jacob Neusner (E.J. Brill).
Stambaugh, John & Balch, David, 1997, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, diterjemahkan oleh Stephen Suleeman, BPK. Gunung Mulia, Jakarta.
Strauch, Alexander, 1992, Manakah Yang Alkitabiah, Kepenatuaan Atau Kependetaan ?, Yayasan Andi, Yogyakarta.
Soekanto, Soerejono, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tenney, Merrill C., 2009, Survei Perjanjian Baru, Gandum Mas, Malang.
Wahono, Wismoady S., 2011, Di Sini Kutemukan, BPK. Gunung Mulia, Jakarta.
Wofford, Jerry C., 2001, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, Andi, Yogyakarta.

2.     Tesis/Artikel
Kakiay, A. Ch., Artikel Teori Sistem (Struktural  Fungsionalisme).
Warella, S.B., 2012 Tesis, “Tafsir Sosial Terhadap Ulangan 15:1–11, 16:18–20 Dan Implikasinya”.

3.    Kamus/Ensiklopedi
Allee, John Gage, 1969, Webster’s New Standar Dictionary, Mc. Laoughlin Brothers Inc., New York.
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 1995, Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Ensiklopedi Perjanjian Baru, 1990, Cetakan 1, Kanisius., Yogyakarta.
Fairchild, Henry Pratt, 1960, Dictionary of Sociology and Related sciences, Littlefield Adam & Co. Paterson, New Jersey.
Haag, Herbert, 1971, Kamus Alkitab, Penerbit Nusa Indah.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, Jakarta.

4.     Website
www.Alkitab.sabda.org, Diakses tanggal 31 Januari 2012, Pukul 23.45 WIT.
http://www.Berger L.Peter & Luckman Thomas, Tafsir Sosial Atas Kenyataan//diakses Tgl 31 Januari 2012.
http://id.shvoong.com/business-management/management/ciri-ciri-kepemimpinan-yang-otokrasi, diakses tanggal  9 Juni 2012, pukul 16.24 WIT.
http://pendidikansejarah2005.blogspot.com/2009/03/perkembangan-helenisme-dan-romawi.html

5.     Produk Perundang-undangan
Peraturan Pokok Gereja Protestan Maluku, Tentang Jemaat, BAB IX Tentang Majelis Jemaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar